HARI KETIGA. Negara ini semakin aneh saja? Baru tahun kemarin harga BBM dan Sembako naik, tahun ini naik lagi. Padahal di setiap pom bensin selalu ada slogan premium hanya untuk golongan yang tidak mampu. Duh, ternyata slogan hanyalah slogan, realitanya mobil-mobil mewah tetap menggunakan premium.
Bukan sok kritikus atau belagak menjadi mahasiswa yang berpikir apatis. Tapi apa mau dikata, jika BBM naik lagi sementara uang jajan tidak mengalami kenaikan dari bokap dan nyokap. Yang ada kondisi keuangan ketar-ketir, kemungkinan untuk mendapatkan pacar akan menepis. Hilang sudah harapan untuk mendapatkan fasilitas selama sebulan di kampus.
Ramon termenung di beranda rumah, laptop dibiarkan menyala. Dunianya kini tengah singgah ke dunia akutansi, berhitung dan berhitung. Ia harus mencari cara untuk mendapatkan uang tambahan, lalu bagaimana caranya? Mencari pekerjaan part-time tidak mudah, mungkinkah ia menjadi seorang pedagang. Turun ke jalan untuk berjualan apa saja, bukankah sangat mudah menjadi pedagang di negeri ini, hanya modal kaki dan mulut dan mengoceh di dalam bis kota uang berdatangan.
Tapi itu bukan cara yang cerdas, ia adalah seorang mahasiswa, harus memiliki kreatifitas yang tinggi untuk menghasilkan uang. Ia menyambar Koran, kemudian meneliti iklan lowongan kerja hari ini, satu demi satu dibaca dengan sangat serius. Hasilnya nihil, tak satu pun kerjaan yang cocok dengan status mahasiswanya. Tiba-tiba matanya terhenti di sebuah iklan.
DICARI
seorang mahasiswa yang menguasai Matematika dan Bahasa Inggris. Untuk mengajar private di rumah, hubungi 0819xxxxxxx.
Ini kesempatan bagus, pikirnya. Toh ia juga bukan termasuk mahasiswa yang memiliki intelektual yang rendah, menjadi guru private siapa takut? Lumayan kan untuk tambahan uang jajan, segera ia ambil blackberry kemudian meng-calling.
“Jam 12 siang Mas jangan telat,” ucap seorang ibu dari dalam telepon.
Ucapan itu tak pernah ia lupakan, ketika sarapan pagi, mandi, sikat gigi, puk, ganti baju bahkan ketika ngupil pun kata-kata itu selalu diingat. Jam 12 siang adalah waktu yang sakral, waktu yang akan mengubah seluruh hidupnya, terutama dari dunia akutansi. Karena ia selalu mengingat ucapan itu, maka tepat jam 12 siang sudah berada di depan sebuah pagar rumah mewah.
Suasananya tampak lengang, hanya ada dua mobil yang sedang terparkir. Ia menekan bel, suara bel jelas nyaring terdengar. Namun belum ada tanda-tanda kehidupan, sekali lagi ia tekan dan kemudian berkali-kali. Wanita muda dengan memakai daster dan rambut dikuncir keluar dari dalam rumah dengan tergopoh-gopoh.
“Sabar ya, saya lagi nyuci baju di belakang,” ucapnya.
“Ibu Sriyani ada?” tanya Ramon.
“Ada. Mas iki sopo yo?” tanyanya dengan bahasa yang tidak dimengerti Ramon.
“Maksudnya Mba?”
“Mas ini siapa, kok siang-siang nyari juragan nyonya.”
“Oh.. saya Ramon, calon guru private di sini.”
“Oh… Ramon, monggo Mas. Ibu wis nunggu di dalam.”
Pintu gerbang dibuka, Ramon mengikuti wanita itu. Suasana di halaman sungguh nyaman tanaman-tanaman hias yang tertata rapi dan tampak terlihat segar menandakan orang yang memiliki rumah ini sangat memperhatikan kebersihan dan kenyamanan. Beberapa menit kemudian Ramon memasuki rumah, langsung disambut oleh Ibu Sri atau Juragan Nyonya, dan mereka langsung membicarakan honor mengajar serta jam waktu belajar, setelah setuju Ramon berpamitan dan akan datang pada waktu yang telah disepakati.
Apakah murid-murid tahu apa yang dilakukan guru sebelum mengajar? Jawabannya adalah belajar. Seperti yang dilakukan Ramon setelah tiba dirumah ia langsung menyambar buku-buku matematika, kamus bahasa Inggris kemudian membacanya dengan gaya kutu buku; mata melotot, dahi mengkerut dan....... kentut.
Kegiatan membacanya itu harus diacungkan jempol, dimana saja ia berada buku-buku itu tak pernah lepas dari genggaman. Ia membaca di dalam kamar, ruang tamu, ruang makan, kamar mandi, di halte, bis kota, di kampus, di taman. Keren bukan? Calon guru di masa depan yang menghibakan hidupnya pada ilmu pengetahuan. Ini patut di contoh oleh seluruh persatuan guru di negeri ini.
Akibat kelakuannya itu, Ramon menjadi pusat perhatian sahabatnya: Sukarno dan Abdullah. Mereka mungkin merasa senang jika Ramon gagal dalam melaksanakan tugasnya, sebab jika dia gagal maka seluruh uang jajannya akan utuh, dan tentu saja dia juga tidak harus merelakan waktu luangnya untuk menemani Ramon ke diskotik.
“Lihatlah! Kelakuan Ramon semakin aneh saja. Ini akibat terlalu lama menjomblo,” ucap Abdullah, sesekali menutup hidungnya oleh sapu tangan.
“Dul, kita harus temani dia. Jangan sampai kita punya teman orang gila.” Sukarno segera mendekat disusul oleh Abdullah.
Ternyata, dua sahabatnya itu masih memiliki perhatian khusus, atau mungkin dia juga memerhatikan Ramon untuk meledeknya? Tetapi, kedua orang itu tidak memiliki tampang yang psikopat, atau pendendam, mereka sudah lama berteman dengan Ramon, sehingga tahu apa yang terjadi pada Ramon adalah hal yang harus diselamatkan.
Langkah mereka semakin cepat mendekati Ramon, sesekali mereka melihat ke arah pintu masuk kampus, mereka juga tengah menunggu para pacarnya yang belum juga terlihat, padahal kerinduan telah memuncak.