HARI KEEMPAT. Ramon membuka jendela, ia menguap dan menggeliat seperti cacing kepanasan. Matahari menyorot dari sebelah timur, beberapa orang berlari pagi dan Ramon hanya melihat tanpa gairah. Ia kemudian duduk di tepi ranjang, bisa dirasakan dari sinar matanya yang redup ia tengah dilanda kegalauan.
Galau tingkat tinggi, memang tidak enak jika mengalami kegalauan semua serba sumpek dan ruwet. Ingin rasanya Ramon menangis, menangis sekencang-kencang seperti anak kecil dan akhirnya ia menitikan air mata. Hatinya terenyuh, sangat pedih mengingat kisah cintanya yang kandas.
Orang galau memang harus menangis, biarlah lepas seluruh beban dalam hati. Ramon terus saja menangis hingga matanya bengkak, ia serba salah. Duduk salah teringat luka itu dan menangis, kemudian merebahkan tubuhnya ke kasur, bayangan itu muncul lalu menangis, ia bangkit berdiri ditepi jendela menatap ke luar—ada dua sepasang kekasih tengah bercumbu dibawah pohon usai lari pagi, Ramon menangis menyaksikan itu.
Ia melangkah gontai, menyambar handuk dan masuk kamar mandi, lalu duduk di atas box toilet. Matanya memandang ke langit-langit kamar mandi, segala berseliweran lalu.. menangis hingga perutnya mules, kemudian ia bersiap melesatkan rudal dari hasil pembakaran di pencernaannya, dalam kondisi seperti itu teringat kembali bayang-bayang masa lalu cintanya, dan menangis.
Menangis adalah kegiatannya di dalam rumah, tak pernah berhenti selalu menitikan air mata dalam setiap kegiatannya. Ibunya menatap malang—dan menyuruh Ramon untuk jalan-jalan agar hatinya tenang. Ramon memutuskan untuk mengikuti nasihat ibunya, jalan-jalan ke mall. Memang itulah tempat favorit untuk melepaskan penat, ia duduk di sebuah restoran cepat saji kemudian melamun.
Dalam lamunannya ia teringat ketika awal mula PDKT dalam kurung pendekatan kepada Ratih, mantan pacarnya. Memang itulah hal yang paling menyenangkan dalam bercinta, tragedi pendekatan yang sangat terasa berkelas.
Biasanya dalam pendekatan selalu SMS tak pernah lewat: Kamu lagi apa? Sama siapa? Jangan lupa makan ya… jangan lupa belajar ya.. jangan lupa mimpiin aku ya… jangan lupa mandi ya… jangan lupa… Akhhhh, Ramon menggebrak meja. Kesal hatinya jika mengingat itu semua, seluruh mata memandangnya.
Keringat bercucuran, padahal ruangan ini dingin. Pasti keringat akibat dia belum mandi pagi ini. Ya, kegalauan membuat orang lupa ingatan, sekaligus lupa mengurus badan. Sakit sekali, mengapa harus Ratih yang selingkuh? Jika saja dia yang selingkuh pasti Ratih akan tetap menjadi miliknya.
Sangat sakit ketika mengingat masa pacaran dulu: Sayang… aku rindu kamu, besok kita bertemu di tempat biasa ya. Alamak… masih terdengar merdu suara itu di telepon ketika Ratih mengalami gejolak kerinduan di tengah malam, sekarang ia tak pernah mendengar bunyi dering telepon setiap tengah malam, hanya suara burung hantu yang menakutkan dari luar kamar. Dan yang paling ia benci adalah ketika ia mengucapkan kalimat putus seperti ini:
“Kita putus ya,” ucap Ratih.
“Mengapa?” tanya Ramon.
“Kamu terlalu baik buat aku, lagipula jika berjodoh pasti kita ketemu lagi.”
What? terlalu baik? Mengapa wanita tidak suka dengan kebaikan para kaum lelaki, lalu mengapa Ratih bilang pasti bertemu padahal setiap hari aku dan dia selalu bertemu karena satu kampus. Aduh… jika begitu aku akan menjadi penjahat wanita. Fuck!
Dalam kegalauan di restoran mata Ramon meneliti ke sekeliling ruangan, nampak banyak sekali para remaja tengah makan bersama pasangannya masing-masing, dan Ramon tambah galau. Ada sepasang kekasih didekatnya tengah saling suap, bikin iri dan tambah panas. Dalam hatinya mau juga dong disuapin sama pacar, Ramon berusaha tegar, kuat seperti pohon palem di samping rumahnya.