Bagi Kemal Virendra, seorang siswa kelas XI yang hobinya memasak, selalu percaya, perut kenyang adalah pintu menuju gerbang hati. Makanya, bekal homemade adalah jurus andalannya, senjata rahasia yang tak pernah gagal. Cowok berambut ikal yang lebih akrab disapa Chef Cintaku oleh teman-temannya, telah membuktikan bahwa formula ini sudah teruji. Bukan hanya di depan ibu atau adiknya yang rewel dan sulit makan, tapi juga di hadapan para cewek yang selalu terhipnotis oleh sajiannya.
Selama ini, formula itu tak pernah meleset. Bekal nasi bakar cumi pedas yang memanjakan lidah, macaroni schotel gurih dengan topping keju melimpah, atau cupcake red velvet manis yang menggoda, selalu sukses menghipnotis siapa pun yang mencicipinya. Namun misinya kali ini, adalah level yang berbeda, sebuah tantangan epik yang menuntut seluruh keahlian dan perasaannya: mencoba menaklukkan target, Ameera Minadya Nur Arifah.
Pagi itu, fajar belum sepenuhnya menyingsing di Ciwidey, namun aroma butter dan gula pasir sudah beradu mesra di dapur rumah Kemal, memenuhi udara dengan janji kelezatan. Sejak subuh, ia sudah berkutat dengan mixer yang bergemuruh dan oven yang memancarkan panas, demi menciptakan sebuah mahakarya. Tangannya yang lihai dengan cekatan mencampurkan resep hasil eksperimennya, Macaron Cokelat Arabika spesial. Kali ini, ia bukan sekadar membuat macaron biasa yang cantik, tetapi macaron yang diinfus dengan kopi arabika pilihan dari pegunungan terdekat. Konon, berdasarkan desas-desus yang beredar dan mampir ke telinga Kemal dari obrolan siswi-siswi lain, kopi arabika adalah kopi kesukaan Ameera, bahkan ia sering terlihat membawa termos kopi hitam ke sekolah.
“Perfect,” gumam Kemal, menatap bangga deretan macaron berwarna cokelat muda di atas loyang. Bentuknya sempurna, bulat dengan ‘kaki’ macaron yang rapi, warnanya manis seperti cokelat susu, serta aromanya..., duh, bisa bikin Chef Renata pun tersenyum dan meminta resepnya. “Ini bukan cuma macaron, ini declaration of love via dessert!” pujinya dengan nada bangga, senyum lebar menghiasi wajahnya.
Bekal itu dikemas rapi dalam kotak bento mewah berwarna rose gold, lengkap dengan garpu kecil berukir inisial ‘KV’ yang berkilauan. Tak lupa pula, ia menambahkan dua potong chicken katsu berbentuk hati, diletakkan di samping nasi kepal yang dihias nori membentuk wajah tersenyum. Sebuah karya seni kuliner yang apik, menurut sang pembuatnya, sebuah deklarasi cinta yang bisa dimakan.
Sesampainya di sekolah, aura SMA Harapan Bangsa terasa berbeda. Sejak Ameera muncul sebagai siswi pindahan dari Jakarta dua minggu lalu, koridor yang biasanya riuh dengan teriakan bola atau debat game online kini diselingi gumaman Subhanallah dari setiap penjuru kelas. Aura Ameera seolah membawa ketenangan, namun juga mengundang perhatian semua mata. Para cowok yang tadinya cuek soal penampilan, sekarang tiba-tiba rajin menyisir rambut dengan rapi dan menyemprotkan parfum ke seluruh badan sampai tercium dari jarak lima meter. Bahkan ada yang ketahuan pakai pelembap bibir warna cherry agar bibir terlihat lebih merona.
Kemal melangkah percaya diri menyusuri koridor menuju kelas Ameera. Kotak bento di tangannya terasa bagai perisai keberanian. Di sana, sudah ada Bagas Raditya Omara, si Puitis Gadungan, yang sedang bersandar di ambang pintu kelas dengan gaya melankolis andalannya. Rambutnya disisir ke belakang ala oppa-oppa Korea, tatapannya menerawang jauh ke arah loker Ameera yang dipenuhi tempelan stiker kaligrafi Arab yang estetik.
“Morning, Bro,” sapa Kemal, dengan senyum selebar kemeja oversized barunya yang berwarna cerah. “Ngapain pagi-pagi udah kayak patung Pancoran gitu, menatap kosong ke mana-mana?”
Bagas menghela napas dramatis, seolah baru saja menyelesaikan sebuah epik puisi. “Kemal, kau tak mengerti. Ada pendar cahaya dalam tiap hembusan napasnya. Senja di matanya, fajar dalam senyumannya.... Ah, terlalu indah untuk dijangkau kata-kata bahkan terlalu harum dibandingkan wewangian surgawi yang ada di taman Firdaus.”
“Itu mah bau keringat kamu, Gas, yang dari tadi berdiri nempel pintu,” ledek Luthfi Maulana, si Atlet Cinta Gagal Start, yang tiba-tiba muncul dari balik tiang koridor, seperti ninja. Sebelah tangannya membawa bola futsal yang sudah usang. “Mending latihan sprint sana, biar napas kamu teh nggak pendek-pendek kalau baca puisi, nanti sesak napas pas nyanyi lagu dangdut.”
Bagas menatap Luthfi dengan sorot tak suka, seperti seorang penyair yang puisinya diolok-olok. “Kau, sang pragmatis, mana mungkin mengerti romantika sejati! Ini bukan tentang fisik, Luthfi, ini tentang jiwa yang berpadu! Tentang chemistry!”
“Jiwa berpadu, kalau perut keroncongan, ya bubar semua ceritanya,” sindir Kemal sambil mengusap perutnya yang mendadak keroncongan karena terlalu banyak mencium aroma macaron. “Lihat nih, bekal spesial untuk si dia. Dijamin langsung klepek-klepek. Kamu berdua mending nyerah aja, deh, mulai sekarang. Ini namanya jurus ampuh, anti-gagal!”
Luthfi hanya mendengkus. “Cinta itu pembuktian, Bro. Bukan melulu soal makanan. Rencananya nih, aku mau langsung ngajak dia sparring silat sore ini. Biar tahu siapa yang jagoan sebenarnya.”
Bagas memutar bola mata, ekspresi lelahnya terlihat jelas. “Sparring? Kamu mau buat dia patah tulang atau patah hati karena ketakutan? Cewek itu butuh kelembutan, Luthfi. Seperti bunga yang mekar di musim semi... butuh siraman bait-bait puisi, bukan tendangan maut.”