Embun pagi ini sungguh syahdu, mirip air mata bumi yang tak terbendung, atau mungkin Cuma embun dari freezer kulkas tua yang lupa dimatikan semalam. Bagi Bagas Raditya Omara, sang Puitis Gadungan, dunia ini adalah panggung drama yang tak pernah sepi. Setiap momen, setiap objek yang diamatinya, dari kerikil di jalan setapak sampai awan yang berarak, bisa jadi inspirasi puisi yang epik. Terutama, sejak Ameera Minadya Nur Arifah muncul di SMA Harapan Bangsa dua minggu lalu.
Aura kelembutan cewek cantik itu seperti magnet bagi jiwa Bagas yang melankolis dan dramatis, membuatnya merasa wajib menulis puisi cinta yang paling romantis dan tak terlupakan, sebuah magnum opus yang akan memukau.
Setelah insiden bekal di kantin yang berakhir di tangan Pak Arman—sebuah tragedi kuliner yang disesalkan Kemal sepanjang hari—Bagas akhirnya sadar. Pendekatan frontal seperti itu terlalu kasar untuk jiwa Ameera yang halus, yang takkan mudah tersentuh oleh aroma chicken katsu. Ameera butuh sesuatu yang lebih dalam, lebih menyentuh, serta lebih puitis. Ia butuh diksi yang tajam, bukan bekal yang gurih.
Detik ini juga, misi Bagas pun dimulai. Di benaknya terlintas sebuah ide untuk segera menciptakan magnum opus (karya agung) yang akan meluluhkan hati Ameera. Ia mulai membawa buku catatan kecilnya yang bersampul kain lusuh ke mana-mana, sebagai persiapan untuk menorehkan bait-bait indah kapan saja inspirasi datang. Sayangnya, inspirasi ini punya kebiasaan buruk, yaitu datang di waktu yang paling tidak tepat, seringkali di momen yang paling krusial.
Hari itu, saat pelajaran Biologi dari Bu Lidya, Bagas sedang sibuk merangkai kata. Ruangan kelas sedikit bising oleh suara kipas angin yang berderit dan bisikan siswa. Aroma formalin dari preparat praktikum masih samar tercium. Jemari Bagas menari di atas kertas, menulis dengan cepat namun hati-hati.
“Sejak matamu menyapa, duniaku berubah serupa taman surga. Bunga-bunga bermekaran di relung jiwa ....” Bagas bergumam pelan, menikmati setiap kata yang ia ciptakan.
Bu Lidya, yang dikenal sering curhat soal mantan saat mengajar, tiba-tiba memecah keheningan dengan suara parau. Ia berhenti di depan papan tulis, spidol board marker di tangannya tak bergerak. “Organ jantung manusia itu kuat. Tapi tidak lebih kuat dari hati saya waktu ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, padahal sudah berjanji sehidup semati ....” Suaranya terdengar lirih di akhir kalimat.
Satu kelas menghela napas pasrah, ekspresi bosan terpancar jelas di wajah-wajah para remaja itu. Bagas, yang sedang khusyuk merangkai puisi, mendadak kehilangan mood. Bunga di relung jiwanya yang hampir merekah, layu seketika. Konsentrasinya buyar, sehingga inspirasi yang sempat hinggap pun menguap entah ke mana, lenyap seperti embun terkena terik matahari.
“Bagaimana menurutmu, Bagas? Jantung itu ibarat pompa air yang terus bekerja, memompakan darah ke seluruh tubuh, tapi kalau dipompa dengan kepalsuan, di hancur juga, kan?” Bu Lidya menatap Bagas dengan mata berkaca-kaca, seolah mencari pembenaran dari siswanya.
Bagas tergagap dan sedikit kelabakan. Otaknya masih belum menemukan jawaban yang puitis. “E-emm ....” Ia terdiam sejenak dengan dahi berkerut, tampak sedang berpikir keras, mencari diksi yang pas di tengah bentrokan antara pelajaran biologi dan baper. Kemudian, Bagas menghela napas, lalu kembali buka suara, “kalau menurut saya Bu, jantung itu..., seperti sumur. Makin digali, makin dalam cinta yang tersimpan. Dan isinya semakin jernih kalau sering dibersihkan dari lumpur kepalsuan.”
Bu Lidya tersenyum miris, menyeka sudut matanya yang basah. “Bagas, itu hati, bukan jantung. Jantung itu organ tubuh, hati itu perasaan. Tapi ya sudahlah. Mari kita lanjutkan. Silakan buka halaman ....”
Bagas terkekeh pelan. Benaknya kembali mengembara, mencoba menemukan inspirasi yang hilang yang baru saja diobrak-abrik oleh Bu Lidya. Sehingga, kalimat selanjutnya yang diucapkan guru Biologi itu pun terlewatkan, tenggelam dalam pusaran pikirannya sendiri.
Esoknya, Bagas mencoba mencari-cari inspirasi lagi. Kali ini di perpustakaan sekolah, di sudut paling sepi, berharap ia bisa fokus tanpa gangguan. Aroma kertas lama dan buku-buku berdebu memenuhi udara, menciptakan suasana yang seharusnya mendukung. Cowok berambut belah tengah itu, bahkan memutar musik klasik Mozart lewat headset kecilnya, demi menciptakan suasana puitis yang sempurna, sebuah orkestra penyejuk jiwa yang mengiringi setiap goresan penanya.
“Wahai rembulan yang bersinar, kau saksikan bisik hati yang bergetar. Mengapa kau hadir..., oh mengapa kau hadir ....” Bagas bergumam pelan, merangkai bait demi bait dengan ekspresi mendalam, seakan-akan ia sedang berdialog dengan rembulan.
Saat Bagas sedang serius-seriusnya merangkai bait, ia tak menyadari, Pak Haryo, sang guru Matematika yang hobi touring pake motor gede dan selalu memakai jaket kulit, tiba-tiba saja muncul entah dari mana, tanpa suara, seperti bayangan yang meluncur di antara rak buku. Pak Haryo, si Pak Segitiga Sama Emosi (julukan dari siswa karena ekspresinya yang selalu datar), selalu punya kemampuan untuk menghancurkan mood puitis Bagas.
“Bagas, kamu ngapain di sini, kayak patung batu?” Suara Pak Haryo yang datar, namun tegas, memecah kesunyian.
“Bukannya belajar deret geometri? Minggu depan ulangan, lho.” Ia menunjuk buku matematika yang terbuka di depan Bagas. “Hidup ini seperti persamaan matematika. Jika kamu tidak mencari nilai X-nya, maka kamu akan tetap jadi variabel tak berarti.”
Bagas mendesah, bahunya merosot. “Saya di sini juga, sedang mencari nilai X-nya, Pak. X dalam artian ‘ekspresi diri’, Pak. Untuk bisa mengutarakan apa yang ada di dalam hati.” Ia mencoba berdiplomasi, berharap Pak Haryo mengerti.
“Ekspresi diri atau ekspresi ngantuk?” sindir Pak Haryo, sambil menarik bangku di depan Bagas dengan suara gesekan yang keras. “Coba kerjakan soal ini. Jika cinta itu seperti deret tak hingga, dan Ameera adalah variabel konstanta, berapa besar kemungkinan kamu bisa menemukan limitnya?”
Bagas hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, bingung mencari jawaban yang puitis sekaligus matematis. Inspirasi yang sudah ia dapatkan dengan susah payah tadi, kembali mandek. Ibarat printer yang kehabisan tinta di tengah mencetak dokumen penting. Cowok itu menyugar kasar rambutnya, frustrasi.
“Inspirasi..., oh inspirasi. Mengapa kau ini seperti uang. Saat dibutuhkan malah semakin menjauh, giliran sudah pasrah, datangnya bejibun,” ratap Bagas nelangsa, suaranya nyaris berbisik.
Situasi paling kacau sempat dialami Bagas saat upacara bendera. Ini adalah momen sakral, di mana Bagas seharusnya fokus pada barisan dan lagu kebangsaan yang berkumandang, dengan khusyuk.
Namun, entah mengapa, saat itu juga ilham puisi datang menerjang tanpa diundang, kala secara tak sengaja dirinya beradu pandang dengan Ameera selama beberapa detik lamanya. Ameera tersenyum tipis, senyum yang begitu manis, dan itu cukup untuk membakar kembali api puisi di dada Bagas.
“Pagi ini, mentari menyapa syahdu, seindah senyummu Ameera..., seolah-olah alam pun turut berpadu dalam simfoni rindu yang tak berkesudahan....”
Bagas asyik bergumam dalam hati, sambil sesekali menulis di buku catatannya yang disembunyikan di balik badan, di antara punggung Luthfi dan Kemal.
Cowok itu pun tak sadar, hari ini giliran dia maju untuk membacakan teks Pancasila sebagai perwakilan kelas, sebuah tugas yang harus ia emban, malah terlupakan begitu saja.
“Kepada petugas upacara..., Bagas Raditya Omara, silakan maju ke depan!” Suara Pak Suryo, kepala SMA Harapan Bangsa pun menggelegar melalui speaker, membuyarkan rangkaian bait puisi Bagas yang baru saja ia mulai.