Bagi Luthfi Maulana, setiap gerakan harus terukur, setiap melakukan shooting, harus terukur, sehingga tepat sasaran dan berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring. Setiap langkah pun harus efektif. Sama seperti bagaimana ia membayangkan masa depannya yang tertata rapi. Sebagai seorang atlet basket dan silat yang bergelut dengan disiplin, hidupnya adalah tentang target yang jelas dan hasil nyata yang bisa dibuktikan.
Omong kosong tentang "jiwa berpadu" ala Bagas yang melankolis, atau "cinta lewat perut" ala Kemal yang selalu beraroma masakan. Semua pendekatan yang kedua rivalnya lakukan, sama sekali tak masuk dalam kamus Luthfi yang penuh dengan strategi dan game plan. Cinta, menurut Luthfi, adalah pembuktian. Dan pembuktian terbaik adalah aksi nyata di lapangan, bukan sekadar kata-kata manis atau hidangan lezat.
Setelah insiden puisi dangdut Bagas yang berakhir dengan tawa renyah Ameera—tawa yang entah mengapa malah membuat Bagas senang—Luthfi mulai menyadari satu hal. Saatnya bagi dia untuk bergerak cepat, sama seperti latihan fisik rutin yang dilakukannya setiap hari. Pendekatan puitis atau kuliner itu terlalu receh dan menye-menye, tidak cocok untuk level atlet sepertinya. Ameera pasti lebih menghargai ketangguhan, kekuatan, dan kejujuran tanpa basa-basi. Sama seperti yang ia lihat pada dirinya sendiri. Cewek itu sepertinya suka dengan aksi nyata tanpa banyak drama, tanpa banyak gimmick.
Pagi itu, udara Ciwidey masih terasa sejuk, namun Luthfi sudah merencanakan strateginya dengan matang. Ia akan mengajak Ameera bermain basket. Bukan hanya sekadar main, tapi sparring satu lawan satu. Dengan begitu, Ameera akan melihat langsung kedisiplinan, fokus, dan kekuatan Luthfi di lapangan, dalam kondisi paling prima. Bukankah itu lebih romantis daripada macaron yang manisnya bikin diabetes karena takaran gula yang dimasukkan ke adonan terlalu banyak atau puisi yang nyasar baitnya ke lirik lagu dangdut yang norak? Itu adalah pembuktian yang tak terbantahkan.
Luthfi melangkah menyusuri koridor sekolah, membawa bola basket oranye kesayangannya. Bola itu terasa pas di tangannya, seperti belahan jiwa yang tak pernah mengecewakan dan setiap hari menemaninya berlatih di lapangan sekolah, menjadi saksi bisu setiap tetes keringatnya. Suara dribbling bola yang ia lakukan sesekali, memecah keheningan koridor yang belum terlalu ramai.
Targetnya adalah kelas Ameera. Di sana, ia melihat Bagas masih sibuk dengan bukunya, duduk di bangku paling depan. Cowok berambut belah tengah itu mungkin sedang sibuk merangkai ulang puisi yang hancur kemarin gara-gara improvisasi lirik tambahan, karena lupa baris terakhir.
Sementara Kemal, yang sedang mengganjal pintu kelas dengan termos nasi raksasa, terlihat sedang membujuk teman-temannya untuk mencoba "bekal pereda stres" buatannya. Aroma masakan buatan sang chef cinta itu, menguar sampai ke koridor.
"Pagi, kawan-kawan," sapa Luthfi. Suaranya terdengar sedikit lebih kaku dari biasanya, seperti robot yang baru belajar bicara. Ia mencoba tersenyum, tapi yang keluar malah seperti ekspresi orang yang sedang berusaha menahan kentut dengan sekuat tenaga.
Bagas menoleh, menghela napas dengan dramatis. "Oh, sang ksatria olahraga. Pagi ini adakah jiwa-jiwa yang ingin kau ajak berduel dengan keringat dan otot? Atau ingin mencari lawan yang setara di medan sparring?"
Kemal tertawa geli, terhibur oleh tingkah laku Luthfi. "Wah, Luthfi, udah siap tempur nih? Mau ngajak sparring sama tembok? Atau jangan-jangan, Pak Arman mau diajak sparring merajut?"
Luthfi mengabaikan ledekan mereka. Telinganya memang sudah kebal dengan bunyi kalimat-kalimat bernada ejekan dari kedua rivalnya. Namun, sesabar apa pun dirinya, sempat terlintas keinginan untuk melawan dengan berteriak "iri? Bilang boss" di depan wajah mereka berdua. Namun, ia mengurungkan niat, sebab baginya meluluhkan hati Ameera Minadya Nur Arifah adalah tujuan utama dan yang terpenting melebihi apa pun juga. Yang jelas, ia harus fokus dalam mencapai tujuannya itu.
Luthfi mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru sekolah, mencari-cari keberadaan Ameera. Meski pun dari jarak jauh, matanya bisa langsung dengan mudah menangkap sosok yang ia cari. Cewek itu baru saja keluar dari kelas, jilbab putihnya berkibar lembut dihembus angin pagi. Cewek itu terlihat sedang menata beberapa buku di lokernya, dengan gerakan anggun dan tenang.
"Ameera," panggil Luthfi, melangkah mendekat. Ia mencoba mengatur napas ketika merasakan jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya, seperti saat ia akan memasukkan bola basket ke dalam keranjang dalam jarak jauh, sebuah shot penentu kemenangan.
Ameera menoleh. Senyum kecil terukir di bibir mungilnya yang berwarna peach, hasil sapuan tipis lipgloss transparan yang 15 menit diaplikasikan pada bibir akan berubah warna menjadi merah muda alami. "Waalaikumussalam, Luthfi? Ada apa?"
"Eh, maaf. Assalamualaikum." Luthfi salah tingkah, merasa bersalah. Masa kesan pertama, aku sudah mendapat penilaian minus karena lupa mengucapkan salam? Duh, ini sudah salah langkah di awal! Ia merutuki kecerobohannya sendiri.
"Ehm..." Setelah mampu menguasai diri lagi, Luthfi kembali mencoba buka suara. Ia menelan ludah, jakunnya naik turun. Hanya suara dehaman yang keluar dari bibirnya.
Bola basket di tangan Luthfi terasa sedikit licin karena keringat. Ini saatnya menjalankan misi pertama. Sebuah momen yang sangat dinantikan serta memacu adrenalinnya, melebihi ketika tim sekolahnya bertanding basket melawan tim SMA sebelah dalam pertandingan paling sengit.
"Aku... aku mau ngajak kamu ..., sparring basket," ujar Luthfi dengan nada bergetar dan terbata-bata, seperti orang yang baru belajar berbicara.
Kalimat ajakan yang sangat sukar terucap seperti sedang mengutarakan sebuah ungkapan cinta, akhirnya keluar juga dari bibirnya. Ia menyodorkan bola basket di tangannya sedikit maju ke arah Ameera, seakan-akan sedang menawarkan sebuah tantangan. "Sore ini, di lapangan sekolah. Biar kamu tahu, kalau cowok sejati itu..., punya fisik yang kuat, nggak cuma bisa gombal doang, atau masakin nasi bakar yang bikin mual."
Bagas dan Kemal di belakangnya serentak menepuk jidat. Sparring basket? Cewek diajak sparring? Benar-benar, ya, si Luthfi ini nggak ada romantis-romantisnya sama sekali. Begitu kira-kira yang ada dalam benak Bagas serta Kemal saat ini, yang hanya bisa menggelengkan kepala. Kalimat yang diutarakan Luthfi, bukanlah sebuah gombalan atau rayuan cinta. Kalimat itu seperti ajakan 'ngegym bareng calon pacar yang lagi mau bakar lemak perut!', sama sekali tak ada sentuhan lembutnya.
Ameera menatap bola oranye itu, lalu mengalihkan pandangan ke wajah Luthfi. Senyumnya masih terukir, tapi ada sedikit kilatan aneh di matanya, seperti menyiratkan sebuah rahasia yang tengah disembunyikan.
"Basket, ya?"
"Iya," jawab Luthfi mantap, dadanya membusung, bangga. "Nanti bisa sekalian aku ajari teknik passing yang benar, atau dribbling biar nggak gampang direbut lawan, dan shooting jitu."
Luthfi bahkan sudah membayangkan dirinya mengajari Ameera, dengan keringat yang membasahi wajahnya yang gagah, menunjukkan otot bisepnya yang terlatih. Itu pasti akan terlihat keren dan maskulin di mata Ameera.