Sastrawan sejati tahu, diksi itu ibarat pedang bermata tajam, mampu menguliti realitas dan fakta, menusuk ke inti persoalan sampai ke akar-akarnya. Namun, mata pedang milik Bagas Raditya Omara, sang puitis gadungan—sepertinya tumpul bila dihadapkan pada satu rahasia besar. Bagas biasanya hanya mampu merangkai kata-kata indah dari hal-hal yang terlihat paling remeh sekali pun; mulai dari embun pagi yang membasahi daun pisang, sampai bekal nasi goreng yang gosong dan meninggalkan bau asap di hidung. Namun entah mengapa lain halnya dengan persoalan yang satu ini, rahasia orang tuanya. Ini adalah jurang dalam yang ia tak sanggup untuk menyelaminya.
Bila diperhatikan dari sisi luarnya, orang tua Bagas, Pak Rahmat dan Bu Rini, tampak harmonis, seperti kebanyakan pasangan couple goal yang sering muncul di majalah gosip. Mereka masih tinggal serumah, makan bersama di meja bundar ruang makan, dan terkadang masih suka bercanda layaknya suami istri yang selalu akur, yang diiringi tawa renyah yang terdengar dipaksakan.
Namun sesungguhnya, Bagas tahu betul, jauh di dalam lubuk hatinya yang peka, bahwa mereka sudah bercerai diam-diam. Ia bukan lagi bocah ingusan yang gampang dibujuk dengan permen atau dibohongi dengan dongeng-dongeng sederhana yang manis tanpa tokoh antagonis. Ia sudah tumbuh, dan mampu melihat retakan di balik senyum itu.
Pernah sekali waktu, Bagas secara tak sengaja mendengar percakapan mereka saat subuh, di balik pintu kamar yang sedikit terbuka. Suara sayup-sayup tentang "hak asuh" dan "rencana ke depan" itu menusuk telinganya, dingin seperti embun pagi yang menembus kulit.
Sejak itu, dadanya selalu sesak setiap kali menyaksikan senyum palsu mereka, setiap kali melihat tawa yang tak sampai ke mata. Di hadapan kedua orang tuanya, Bagas berlagak pura-pura tak tahu, pura-pura semuanya baik-baik saja, bahkan seringkali melempar lelucon receh untuk menutupi kecanggungan. Ia belum siap menerima kenyataan pahit itu, kenyataan bahwa rumahnya, yang seharusnya menjadi sarang, kini hanyalah sebuah bangunan yang retak.
Konflik batin ini membuat puisi-puisi Bagas jadi amburadul. Ia mencoba menulis tentang keluarga, tentang rumah, tentang kehangatan yang seharusnya ada, tapi selalu berakhir melankolis, penuh dengan metafora kesedihan yang tak bisa ia ungkapkan secara terang-terangan. Setiap baris puisinya adalah jeritan hati yang tersembunyi. Contohnya saja, saat pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Kartini, guru Bahasa Indonesia berperawakan tambun yang selalu terlihat sabar, dengan kacamata bertengger di hidungnya, memintanya membuat sebuah puisi yang berhubungan dengan keluarga.
"Bagas, coba bacakan puisi tentang 'rumah' yang sudah kamu buat," perintah Bu Kartini, suaranya lembut namun tegas, memenuhi ruang kelas yang pagi itu sedikit gerah.
Bagas maju ke depan kelas, langkahnya terasa berat. Ia membuka bukunya, berisi halaman-halaman lusuh penuh coretan puisi-puisi gundahnya. Kedua mata cowok rambut belah tengah itu menerawang, tatapannya kosong, seperti mencari makna di balik langit-langit kelas. Terdengar helaan napas panjang darinya, sebuah desahan berat yang menyiratkan beban, sebelum Bagas mulai membacakan puisinya dengan suara yang sengaja ia buat datar, tanpa emosi.
"Rumah adalah sarang ....
Tempat hati berpulang.
Namun kini, sarang itu retak ....
Burung-burung enggan menatap.
Ada bayang di antara dinding,
Bisikan sunyi yang mengering.
Senyum itu kini hambar,
Seperti kopi tanpa gula, terbakar."
Satu kelas hening. Hening yang mencekam, bukan hening kagum. Tak ada tepuk tangan, tak terdengar suara kasak-kusuk atau pun kalimat-kalimat pujian tentang puisinya kali ini. Bahkan Kemal yang biasanya sibuk mencatat resep makanan di bukunya pun mendadak terdiam, matanya menatap Bagas dengan khawatir. Luthfi terlihat sedikit mengernyit, dahi atletisnya berkerut, seolah mencoba memahami makna tersembunyi di balik kata-kata yang aneh itu. Sementara, Bu Kartini menghela napas panjang. Kacamata di hidungnya sedikit melorot.
"Bagas." Suara lembut Bu Kartini memecahkan kesunyian yang tercipta, seperti riak kecil di danau yang tenang. "Puisi kamu bagus. Diksinya juga kuat, mengena sekali. Tapi..., Ibu merasa, 'kok melankolis sekali? Apa rumahmu bocor? Atau kamu sedang ada masalah dengan teman-teman?"
Bagas menggeleng pelan, bibirnya menipis. "Nggak, Bu. Hanya..., kebetulan saya sedang mencari rima 'retak' yang pas, dan kebetulan ketemu 'sarang'."
"Tapi 'kopi tanpa gula, terbakar'? Maksudnya apa, Bagas?" Bu Kartini mencoba menahan senyum geli yang nyaris pecah di bibirnya. Ia berusaha mengalihkan suasana. "Kamu pasti lagi lapar, ya, Bagas? Atau Kemal belum bagi bekal hari ini?"
Konflik batinnya ini membuat Bagas makin tenggelam dalam drama pribadinya. Ia jadi sering menyendiri, mendengarkan lagu-lagu galau dari band indie lokal sambil memandangi jendela kelas lama-lama, atau menulis di buku catatannya. Bait-bait tentang hujan, senja yang kelabu, atau hati yang remuk, memenuhi setiap halaman bukunya. Kemal dan Luthfi kerap memerhatikannya dengan pandangan khawatir dari kejauhan, seperti dua penjaga yang diam-diam memantau sahabatnya yang sedang terluka.
"Dia kenapa sih, Mal?" tanya Luthfi pada Kemal suatu sore, saat mereka menyaksikan Bagas duduk termenung di bangku taman, di bawah pohon beringin tua yang daunnya rimbun. Angin semilir menggerakkan rambut Bagas yang belah tengah. "Kok makin hari makin kayak drakula yang kurang darah, pucat dan suka menyendiri?"