Hidup adalah training. Dan hatinya, sedang dalam program latihan terberat. Bagi Luthfi Maulana, segala sesuatu bisa diukur, dilatih, dan ditingkatkan. Disiplin adalah kuncinya, dan kemenangan adalah satu-satunya tujuan. Begitulah yang selalu diajarkan ayahnya, Alm. Pak Syamsul, mantan atlet lari terkenal yang meninggal tiga tahun lalu. Sejak kepergian ayahnya, Luthfi merasa beban "menjadi yang terbaik" jatuh sepenuhnya di pundaknya. Beban itu bukan lagi hanya harapan, melainkan sebuah janji tak terucapkan yang memberatkan setiap gerak langkahnya.
Ibunya, Bu Dewi, seorang perawat yang sering kerja shift siang-malam, terlalu sibuk untuk menemaninya. Rumah mereka di Ciwidey terasa sunyi, hanya diisi gema kesibukan Ibu yang pulang pergi, menyisakan Luthfi dengan rutinitasnya sendiri. Luthfi tumbuh mandiri, selalu memendam emosi rapat-rapat, menumpuknya di balik otot-otot kerasnya, dan senantiasa menyalurkan semua tekanannya ke dalam latihan fisik yang menguras tenaga. Setelah insiden yoga dengan Ameera, yang berhasil membuat harga dirinya sebagai atlet sedikit runtuh karena merasa kaku dan tidak luwes, Luthfi kini merasa harus membuktikan sesuatu yang lebih, bukan hanya pada Ameera, tetapi juga pada dirinya sendiri, dan bayangan ayahnya yang tak pernah benar-benar pergi.
Pagi itu, fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Luthfi sudah berada di lapangan sekolah. Udara dingin masih menusuk tulang, membawa aroma tanah basah dan pinus dari kejauhan. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan, seolah menyelimuti rahasia pagi. Namun, keringat sudah mulai membasahi kaus olahraganya yang gelap. Ia memulai dengan pemanasan standar yang sudah dihafalnya di luar kepala: jumping jacks, stretch dinamis, lalu lari keliling lapangan. Satu putaran, dua putaran, sepuluh putaran. Kakinya bergerak seperti mesin yang tak kenal lelah, tanpa henti. Di setiap langkah kaki yang menjejak rumput basah, ia memikirkan kalimat ayahnya, seolah terdengar jelas di telinganya: "Seorang juara tidak pernah menyerah. Rasa sakit itu sementara, kebanggaan itu selamanya." Kalimat itu bagai mantra, penguat sekaligus belenggu.
Saat putaran kelima belas, suara familiar memecah keheningan dini hari. "Luthfi, sudah berapa putaran? Nggak capek?" Suara Kemal mengejutkannya, membuat langkah ia sedikit goyah. Tampak beberapa siswa-siswi sudah mulai berdatangan. Bel masuk sebentar lagi berbunyi.
Kemal, dengan jaket tebalnya, membawa termos air dingin yang mengepulkan uap tipis, sementara Bagas sudah duduk manis di tribun, di balik notebook berisi puisi-puisinya, sesekali menghela napas dramatis.
"Belum," jawab Luthfi datar, tanpa menghentikan larinya, bahkan tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke depan, fokus pada garis putih di ujung lapangan. "Ini baru pemanasan."
"Pemanasan kok kayak lagi dikejar debt collector yang nagih utang tiga turunan," sahut Bagas, yang sedang membaca salah satu puisi di bukunya dengan suara mendayu-dayu. "Kamu ini, Fi. Hidup itu bukan cuma lari dan keringat. Ada keindahan yang perlu direnungkan. Seperti awan yang berarak… melambangkan jiwa yang sedang berlayar mencari arti…" Bagas mengangkat buku puisinya ke arah Luthfi, seolah-olah ingin rivalnya itu meresapi setiap untaian kata-kata yang diucapkannya barusan.
Luthfi mempercepat sedikit larinya, melarikan diri dari ocehan puitis Bagas. "Mending kamu lari juga, Gas. Biar napasmu nggak ngos-ngosan kalau pas mau ngajak cewek kawin lari," sindirnya, kali ini dengan sedikit senyum tipis yang jarang sekali ia tunjukkan, hanya berupa gurat di sudut bibirnya.
Kemal tertawa terbahak-bahak, sampai bahunya berguncang. "Wah, progress, nih. Luthfi udah bisa ngocol!" Kemal menggelengkan kepala, merasa ada sesuatu yang baru pada diri salah satu rivalnya yang senantiasa menjaga kesehatan.
Luthfi terus berlari. Bahkan setelah bel masuk berbunyi dan lapangan mulai sepi dari keramaian para siswa-siswi yang bergegas ke kelas. Ia masih melanjutkan sesi lari intervalnya di pinggir lapangan.
Guru-guru sudah terbiasa dengan kebiasaan Luthfi yang ini. Pak Haryo, guru Matematika, pernah mengatakan dengan ekspresi serius di kelas, "jika Luthfi berlari dengan kecepatan X, dan mengejar mimpi Y, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik Z, jika Z adalah juara dunia?" Pertanyaan itu langsung disambut tawa geli seisi kelas.
Puncaknya adalah saat pelajaran olahraga. Pak Budi, pelatih klub basketnya yang sudah senior, adalah mantan rekan setim ayah Luthfi di klub lari legendaris Ciwidey. Pak Budi selalu mendorong Luthfi untuk jadi yang terbaik, bahkan harus bisa jauh lebih baik dari ayahnya sendiri. Seakan-akan ada janji tak terucapkan di antara mereka yang harus dilanjutkan oleh Luthfi.
"Luthfi, kamu harus bisa lebih cepat lagi!" teriak Pak Budi saat sesi sprint 100 meter. Suaranya menggelegar di seluruh lapangan. "Tingkat reaksimu masih lambat! Ingat, ayahmu dulu adalah yang tercepat di generasinya! Dia punya waktu start yang paling eksplosif!"
Kalimat itu, "ayahmu dulu adalah yang tercepat," selalu jadi cambuk bagi Luthfi. Ia harus bisa mengalahkan rekor ayahnya. Bukan hanya di lintasan, tapi di setiap aspek hidupnya. Ia harus bisa. Tekad itu membakar semangatnya, namun juga membebani pikirannya.
Setelah latihan fisik yang menguras tenaga hingga otot-ototnya terasa terbakar, Luthfi seringkali pulang dengan tubuh lelah dan pikiran kalut. Rasa kesepian sering menghampirinya saat sang ibu tak ada di rumah karena shift malam di rumah sakit. Rumah terasa begitu sepi dan dingin, hanya diisi suara detik jam dinding dan desahan angin malam. Hanya ada dia, dan bayangan ayahnya yang seolah terus menuntutnya mengukir prestasi.
Suatu sore, Luthfi memutuskan untuk membersihkan gudang belakang rumah, sebuah tempat yang selama ini ia hindari karena terlalu banyak kenangan. Gudang itu dulunya adalah tempat ayah Luthfi menyimpan berbagai peralatan olahraganya. Setiap kali Luthfi masuk ke sana, ia merasakan kehadiran ayahnya, seolah-olah sosok sang ayah masih senantiasa hadir mengawasinya di antara tumpukan barang. Aroma khas keringat, karet sepatu yang usang, dan minyak angin yang menyengat selalu mengingatkannya pada sang ayah, memunculkan gambaran pria tangguh itu dalam benaknya.