Jomblo Rivarly

Suci Asdhan
Chapter #8

Resep Kejujuran

Resep paling sulit itu bukan masakan Padang dengan bumbu rempah yang rumit, bukan pula soufflé yang harus mengembang sempurna tanpa retak sedikit pun, melainkan resep menghadapi kenyataan.

Selama ini, Kemal Virendra—sang Chef Cintaku, julukan yang dulu ia banggakan, yang cowok berambut ikal itu kenakan seperti apron kebanggaan. Selama ini, Kemal selalu bersembunyi di balik apron serta wajan. Ia sibuk menyenangkan orang lain dengan masakannya yang mewah, dengan plating yang sempurna, selalu berusaha menampilkan senyum terlebar di wajahnya, serta bertindak sebagai 'anak baik.'

Semua itu ia lakukan, agar tak ada yang meninggalkannya, dan supaya tak ada yang abai padanya. Ia takut sendirian, takut diabaikan, takut menjadi tidak penting, seperti sisa makanan yang terlupakan atau sudah basi lalu dibuang. Namun, di tengah semua hiruk pikuk mengejar Ameera dan terbongkarnya rahasia Pak Arman yang nyentrik, Kemal mulai merasakan sebuah keganjilan dalam hatinya, sebuah rasa yang tak bisa diolah dengan bumbu apa pun.

Ia menyadari bahwa cinta, sejatinya, bukan hanya tentang masakan lezat yang memanjakan lidah, melainkan tentang kejujuran. Dan kejujuran yang paling sulit adalah jujur pada dirinya sendiri tentang rasa kesepian yang selama ini ia pendam, yang ia tutupi dengan gemerlap bumbu dan tawa palsu.

Setelah insiden di perpustakaan, di mana kecurigaannya terhadap Pak Arman yang ia kira sedang naksir Ameera. Parahnya, Kemal sempat suudzon serta menuduh kalau guru pengganti yang aneh itu adalah seorang dukun. Terbukti, semua kecurigaannya hanyalah salah paham belaka. Kemal merasa malu sekaligus lega. Malu karena overthinking-nya yang berlebihan, lega karena ternyata Pak Arman hanyalah manusia biasa dan tak punya kekuatan gaib atau ilmu sihir.

Namun, masih ada satu hal yang terus mengganjal di pikirannya, seperti duri ikan yang tersangkut di tenggorokan, yaitu tatapan Pak Arman. Tatapan itu seolah-olah menembus topeng cerianya, melampaui apron bersihnya yang tak bernoda, dan menembus langsung ke lubuk hatinya yang paling rahasia dan rapuh yang selama ini ia sembunyikan dari siapa pun.

Tatapan itu seperti berkata, "Aku tahu apa yang kamu sembunyikan, wahai Chef yang kesepian."


"Kamu beneran yakin nggak sih, Mal, Pak Arman itu dukun?" bisik Bagas suatu siang, saat trio Brokoli Ijo sedang merencanakan strategi untuk membantu Ameera dalam proyek Maulid Nabi di sekolah.

Mereka duduk di kantin yang riuh rendah. Suara percakapan mereka, berlomba dengan bunyi piring beradu, sendok berdesing, dan aroma bakwan hangat yang digoreng, berasal dari kedai Bi Inah samping kiri kantin. Bagas menyipitkan mata, menatap kosong ke arah gerbang sekolah, merasa khawatir, Pak Arman bisa muncul kapan saja dari sana, seperti hantu. "Dia kayak tahu semua rahasia kita. Kayak dukun online yang bisa baca chat history dan log aktivitas Browse."

"Mana ada dukun pakai kacamata hitam di dalam ruangan, Gas. Itu namanya hacker, bukan dukun," sahut Luthfi datar, sambil mengangkat beban mini dari botol air mineral bekas. Tangannya yang berotot tampak bergerak stabil. "Palingan Pak Arman cuma jeli. Atau mungkin, di masa lalu, dia kenal baik dengan orang tua kita." Luthfi menghela napas sejenak, menjeda kalimatnya, lalu kembali mulai buka suara, "kan udah dibilang kemarin, jangan overthinking."

Kemal menghela napas, mengaduk es tehnya dengan sedotan plastik. Rasa es tehnya pun terasa hambar, seperti hatinya saat ini.

"Semakin dipikirin, aku malah semakin bingung. Tapi jujur, rasanya kayak ketahuan aja gitu, apa yang selama ini aku sembunyiin." Suaranya mengecil di ujung kalimat, nyaris tak terdengar di tengah keramaian.

"Memangnya apa yang kamu sembunyikan di balik setiap masakan yang kamu buat?" Penasaran, Bagas menatap Kemal dengan sorot mata menyelidik, langsung menyingkirkan buku puisinya.

Insting kepo-nya sebagai calon detektif amatir tiba-tiba sana aktif. Kedua matanya tampak berkilat-kilat. Ia mendekatkan wajah ke arah Kemal, memasang telinganya baik-baik, bersiap menyimak sebuah pengakuan dari salah satu rivalnya.

Kemal terdiam sejenak, memandangi bayangan dirinya di permukaan es teh yang berembun, melihat pantulan wajahnya yang selama ini terasa dipaksakan ceria.

Ia menghela napas berat. Menyembunyikan rasa kesepian itu, ternyata lebih sulit dari pada membuat macaron sempurna yang renyah di luar dan lembut di dalam dan lebih sukar dari menstabilkan emulsi yang rentan.

"Nggak tahu. Cuma... ya gitu deh." Kemal mengedikkan bahu. Lidahnya terasa kelu, tak mampu mengungkapkan beban pikiran yang kini tengah berkecamuk dalam dada. Sehingga kata-kata yang hendak terucap seolah-olah tertahan di tenggorokan, terhalang dinding kepura-puraan yang ia bangun selama ini, dinding yang kokoh dan tak terlihat.

****

Beberapa hari kemudian, Kemal lebih banyak menyendiri di dapur rumahnya. Dapur yang baginya, merupakan tempat ia menemukan pelarian, tempat ia menciptakan keajaiban rasa seperti biasanya. Kini, ruang favoritnya itu, terasa hampa. Aroma bumbu yang dulu menenangkan, suara wajan mendesis yang dulu memberinya ketenangan, semua itu kini terasa asing, kosong, seperti resep yang kehilangan jiwa.

Ibunya, Bu Nanik, seorang single parent yang terlalu sibuk bekerja hingga lupa waktu. shift pagi, siang, bahkan malam, sang ibu lakukan, hingga wanita paruh baya itu, jarang ada di rumah. Ayahnya, Pak Darto, sudah lama tinggal terpisah, meninggalkan jejak lubang di hati Kemal. Kemal tumbuh mandiri, mengurus rumah dan masak sendiri, dari sarapan hingga makan malam. Ia selalu berusaha terlihat kuat, ceria, dan mandiri, agar ibunya tidak perlu khawatir dan bisa fokus pada pekerjaannya tanpa beban.

Namun, jauh di lubuk hatinya, ia sangat merindukan kehangatan keluarga yang utuh, sebuah kehangatan yang tak bisa ia ciptakan sendiri, bahkan dengan mengeksekusi racikan resep-resep terbaiknya menjadi masakan enak sekali pun.

"Mal, kamu kenapa, sih? Dari tadi Ibu lihat kok melamun terus. Kamu lagi nggak enak badan?" Bu Nanik meraba dahi Kemal, mencoba memeriksa suhu tubuh putranya yang sedang mencuci piring. Suara air yang mengalir dari keran adalah satu-satunya melodi di dapur itu, mengiringi kesunyian yang tercipta.

Sorot mata Bu Nanik terlihat lelah, dengan kantung mata yang mulai tampak, menatap putranya dengan khawatir. Ia baru saja pulang dari shift malam, namun masih menyempatkan diri mengecek putranya, bertanya tentang kondisi Kemal.

Kemal tersenyum tipis. Sebuah senyuman yang dipaksakan, seperti masakan yang kehilangan bumbu utama.

Lihat selengkapnya