Jomblo Rivarly

Suci Asdhan
Chapter #9

Tantangan Suci

Suara merdu mengalun dari toa sekolah, membelah keheningan pagi di SMA Harapan Bangsa. Bukan azan, melainkan sebuah pengumuman yang membuat hati Bagas Raditya Omara bergetar hebat. Lebih hebat dari getaran handphone saat ada chat dari kedua rivalnya yang selalu mengganggu konsetrasi dia dalam upaya menemukan inspirasi.

Tantangan Khatam Qur'an selama sebulan penuh baru saja diumumkan. Bagas, sang Puitis Gandungan yang lebih jago mendramatisasi hidup ketimbang membaca Al-Qur'an, mendadak merasa seperti disambar petir di siang bolong, seakan-akan kini udara dipenuhi dengan aroma gosong di sekujur tubuhnya. Keringat dingin langsung membanjiri pelipisnya. Ini bukan lagi tentang menyusun puisi-puisi cinta, melainkan soal kiamat kecil di dunia percintaannya.

Semua berawal dari wawancara Ameera di majalah dinding. Majalah dinding itu, yang biasanya hanya berisi jadwal piket dan pengumuman lomba kebersihan kelas, mendadak jadi headline utama. Ameera, dengan senyum manisnya yang bisa meluluhkan gunung es sekali pun, sempat berucap, "Aku paling kagum sama cowok yang bisa khatam Qur'an. Itu cowok idaman sekaligus calon imam yang baik, beneran sih." Sialnya, kalimat sakral itu dicetak besar-besar, hurufnya cukup tebal, seolah-olah ditimpa dengan stabilo berpuluh-puluh kali. Dan langsung disebar seantero SMA Harapan Bangsa oleh ketua OSIS, si Raka, yang entah kenapa mendadak menjadi event organizer dadakan, lengkap dengan gaya public speaker ala motivator kondang.

"Dengar, wahai pemuda Harapan Bangsa!" Suara Raka menggelegar dari pengeras suara, memantul-mantul di koridor sekolah, menciptakan gaung dramatis yang bikin telinga pengang. "Demi memuliakan bulan suci Ramadan yang akan tiba, dan tentu saja, demi mendapatkan rida dari Allah SWT, serta ..., mungkin bagi beberapa siswa, ini untuk mendapatkan perhatian dari pujaan hati kalian!" Ada jeda dramatis di sana, sengaja dibuat Raka untuk membangun ketegangan.

Bagas bisa merasakan puluhan pasang mata cowok jomblo di seluruh sekolah menatap ke arah majalah dinding. Lalu, terdengar bisik-bisik di sepanjang koridor, yang entah kenapa terdengar jelas di telinga Bagas, "Terutama Ameera Minadya Nur Arifah!"

Bagas menepuk dahinya, saking kerasnya sampai nyaris terjungkal dari kursi. Gawat. Ini sih terang-terangan banget tujuannya. Raka pasti tahu siapa yang paling ngebet sama Ameera. Atau mungkin, ini memang sudah direncanakan untuk membuat Bagas menderita.

"Maka dari itu, kami dari pengurus OSIS, bekerja sama dengan Rohis," lanjut suara Raka, kini dengan nada yang lebih khidmat, "dengan dukungan penuh dari Bapak kepala sekolah dan Pak Arman,"—deg!—"dengan bangga mempersembahkan: Tantangan Khatam Qur’an 30 Hari!"

Seketika, seluruh sekolah riuh rendah. Ada yang bersorak semangat, ada yang mendesah pasrah, ada pula yang langsung buru-buru mengambil Jurnal Tilawah yang dibagikan OSIS, seolah nyawa mereka bergantung pada lembaran kertas itu. Dari sudut kelas, Bagas bisa melihat Kemal langsung menyeringai, senyumnya selebar piring, mungkin sudah membayangkan bekal "nasi uduk berkah ngaji" untuk Ameera sebagai hadiah pengganti bekal macaron yang raib di mulut Pak Arman tempo hari. Luthfi hanya mengangguk serius, ekspresinya tenang seperti batu, seolah tantangan ini hanya masalah disiplin latihan fisik yang bisa diselesaikan dengan push-up seribu kali. Sementara Bagas? Ia lebih jago berpuisi daripada mengaji! Jujur saja, juz terakhir yang ia baca itu saat SD, dan itupun karena dipaksa neneknya dengan ancaman tidak akan diberi uang jajan seminggu.

"Gas, tumben kamu jadi pendiem?" tanya Kemal saat mereka kumpul di kantin, setelah pengumuman itu. Meja kantin yang biasanya jadi saksi bisu gombalan Bagas, kini jadi saksi bisu kepanikannya. "Ini kesempatan emas, bro! Kita bisa menunjukkan sisi religius kita!"

"Sisi religius atau sisi panik yang berujung konyol?" sindir Bagas, menyeruput es tehnya sampai tandas, seolah itu adalah air suci yang bisa menghilangkan kegelisahannya. "Aku ini jago puisi, Mal. Bukan tilawah. Lagian, kenapa harus khatam Qur'an sih? Kenapa nggak lomba menulis puisi religi aja? Atau cooking show halal? Kan lebih masuk akal dan masih bisa dijangkau oleh kita!"

"Itu kan maunya Ameera, Gas," sahut Kemal, dengan nada sabar khasnya. "Ameera kan maunya cowok yang bisa khatam Qur'an. Berarti kita harus belajar! Kalau kamu mau dapat hatinya, ya ikuti maunya!"

"Betul kata Kemal," timpal Luthfi, yang sudah serius memegang Jurnal Tilawah. Buku kecil itu seolah menjadi kitab suci baru baginya. "Ini tentang disiplin. Seperti latihan fisik. Ada target, ada progres. Kalau diniatin sungguh-sungguh dari hati, pasti bisa." Luthfi bahkan sudah mencatat target bacaannya di jurnal.

"Kalau diniatin?" Bagas tertawa getir, suaranya seperti kaset yang pitanya kusut. "Aku aja kalau baca Qur'an, kadang malah kebayang rima-rima puisi yang nyasar. 'Ayat satu, cintaku padamu. Ayat dua, jangan bikin aku galau!'" Bagas mendesah dengan menunjukkan raut wajah yang kebingungan. "Ini beneran harus khatam 30 juz? Dalam 30 hari? Itu sama saja menyuruhku jadi atlet maraton tanpa pernah lari!" Kini terdengar helaan napas berat darinya.

****

Maka, dimulailah era di mana para jomblo SMA Harapan Bangsa mendadak jadi religius. Mushola sekolah yang biasanya sepi, kini jadi lebih ramai dari pasar malam. Aplikasi Al-Qur'an di ponsel siswa mendadak jadi aplikasi yang paling sering dibuka, menggeser game online dan media sosial. Bahkan Pak Haryo, guru Matematika, yang terkenal kaku, sempat membuat rumus probabilitas "kemungkinan lulus tantangan bagi Bagas", dan hasilnya... sangat menyedihkan.

Bagas tahu, ini tantangan serius. Tapi juga sebuah kesempatan. Setelah insiden puisi dangdut yang bikin malu tujuh turunan dan rahasia keluarga yang terungkap, ia merasa harus menunjukkan sisi yang berbeda. Sisi yang lebih tulus, lebih serius, meskipun itu berarti harus berjibaku dengan huruf hijaiyah yang terkadang terasa seperti sandi rahasia yang jauh lebih rumit dari kode cinta Ameera.

Malam harinya, di kamar, Bagas mencoba membaca Al-Qur'an. Ia duduk bersila di atas karpet, memegang mushaf dengan tangan gemetar. Setiap huruf Arab terasa asing, seperti tulisan kuno yang baru ia temukan. Ia mencoba membaca, mengeja, dan menghafal. Otaknya terasa panas.

Hana, adiknya yang berumur lima tahun, tiba-tiba masuk ke kamar Bagas tanpa mengetuk, seperti hantu cilik. Ia memegang boneka beruang lusuh. "Kak Bagas, Quran itu buat dibaca, bukan cuma dipelototin," ucapya polos, sambil menunjuk Al-Qur'an di tangan kakaknya.

"Kakak juga lagi belajar ngaji ini, Hana. Biar pintar." Bagas mulai mencoba mengaji, berusaha menutupi kegugupan. Ia berharap Hana tidak bertanya lebih lanjut.

Lihat selengkapnya