Kemal Virendra jago bikin rendang dan martabak. Bahkan belakangan ini membuat macaron warna-warni yang bikin Ameera tersenyum. Tapi ngaji? Mmm, ini tantangan level Michelin Star.
Bagi Kemal, sang Chef Cintaku, dunia kuliner adalah tempat ia bertahta. Segala resep, bumbu, dan teknik memasak sudah sangat ia hafal di luar kepala. Bahkan, Kemal bisa membedakan aroma bawang merah dari bawang bombay hanya dengan sekali hirup. Namun, urusan baca Al-Qur'an? Itu seperti resep kuno yang belum pernah ia sentuh, bahasa resepnya pun bukan bahasa Indonesia, melainkan berisi tulisan-tulisan sakral yang kalau salah baca sedikit, bisa jadi bencana rasa.
Setelah pengumuman Tantangan Khatam Qur'an yang menggelegar dari toa sekolah, Kemal sadar, ini bukan cuma kompetisi agama, ini kompetisi cinta. Dan ia tidak mau kalah. Demi Ameera, ia rela berjibaku dengan huruf hijaiyah.
"Ini bukan cuma masalah ngaji, Mal," kata Luthfi suatu pagi, saat mereka bertiga berkumpul di mushola sekolah yang mendadak ramai seperti pasar kaget di hari raya.
Suara bisik-bisik dan decakan lidah terdengar di mana-mana, bercampur dengan lantunan Al-Qur'an yang terdengar dilantunkan dengan masih terbata-bata.
Luthfi sudah terlihat serius dengan Al-Qur'annya, jarinya menelusuri setiap baris ayat dengan fokus seperti seorang atlet yang sedang menganalisis strategi pertandingan paling krusial.
"Ini masalah disiplin. Kalau kamu niat, pasti bisa. Kayak latihan fisik, kamu harus konsisten."
"Niat sih niat, Fi," jawab Kemal sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, justru seperti sedang mencari ide resep baru di sana. Ia merasa otaknya berasap.
"Tapi hurufnya itu lho, kayak cacing kepanasan semua. Melilit-lilit. Beda tipis dikit aja, artinya udah beda jauh. Bisa-bisa nanti pas ngaji malah baca resep nasi uduk, bukannya bismillah, malah jadi 'siapkan beras lima kilo'."
Bagas, yang masih trauma dengan insiden rekaman puisinya yang terputar di ruang Rohis kemarin, hanya mengangguk setuju. Wajahnya masih sedikit pucat seperti adonan kue yang belum mengembang.
"Betul, Mal. Ini lebih rumit dari mencari rima yang tepat. Aku saja sampai salah mengutip dangdut, apalagi kalau salah mengutip ayat suci, bisa gawat, bisa jadi puisi paling absurd yang pernah ada."
Sebuah ide brilian muncul di benak Kemal. Otaknya yang chef-minded langsung berputar, menciptakan formula baru yang tak terduga. Ia akan menerapkan filosofi masakannya ke dalam ngaji. Baginya, setiap hidangan adalah sebuah seni, perpaduan bahan dan teknik yang tepat. Kenapa tidak dengan Al-Qur'an? Ini adalah resep paling penting dalam hidupnya.
"Oke, kalau gitu." Kedua mata Kemal berbinar seperti koki yang menemukan resep rahasia leluhur. "Aku akan membuat bekal khusus 'berkah ngaji'. Biar semangat belajarnya! Biar setiap gigitan membawa berkah dan memperlancar tilawah!" Ia mengucapkannya seolah baru saja mematenkan merek dagang.
"Bekal 'berkah ngaji'?" Luthfi mengerutkan kening, alisnya bertaut seperti simpul tali yang rumit. "Apaan tuh? Nasi uduk dibacain doa? Atau macaron rasa surga?"
"Intinya, makanan itu kan sumber energi," jelas Kemal dengan wajah serius, seolah sedang mempresentasikan konsep kuliner di hadapan juri MasterChef yang sedang menatapnya dengan ekspresi serius. "Nah, kalau energinya dari makanan yang dibikin dengan niat baik dan bumbu doa, pasti belajarnya juga lancar, otaknya encer, dan hati jadi tenang. Kayak makan masakan Mama, kan langsung adem."
Padahal, sesungguhnya, niat hatinya bermaksud hanya ingin membuat Ameera terkesan dengan ide kreatifnya yang anti-mainstream, dan berharap bisa menyodorkan bekal itu setiap pagi, jadi membuat cewek itu auto-reminder akan dirinya.
Maka, dimulailah eksperimen "Kuliner Berkah Ngaji" ala Kemal. Dapur rumahnya disulap jadi laboratorium kuliner religius, lengkap dengan latar playlist lagu-lagu Maher Zain di ponselnya yang mengalun melalui speaker Bluetooth.
Aroma bumbu rempah dan manisnya gula aren bercampur jadi satu, menciptakan simfoni bau yang unik. Ia mulai membuat berbagai bekal dengan tema religi. Ada nasi kuning berbentuk kubah masjid lengkap dengan bendera kecil dari potongan cabai merah yang melambai-lambai, puding kurma yang manisnya seperti janji surga, sampai roti maryam yang dihias kaligrafi sederhana dari lelehan cokelat. Dan tentu saja, persembahan masakan yang paling Kemal banggakan, yang ia yakini akan jadi senjata pamungkasnya untuk memenangkan hati Ameera, sebuah mahakarya pedas yang ia beri nama Nasi Uduk "Berkah Ngaji" Super Pedas.
"Nasi uduk ini spesial, bro," kata Kemal saat makan siang di kantin, dengan bangga ia menunjukkan kotak bento berisi nasi uduk berwarna agak kemerahan dengan taburan cabai rawit utuh yang menggiurkan sekaligus mengerikan. Asap tipis mengepul dari hidangan itu, membawa aroma pedas yang menyengat, membuat Bagas dan Luthfi refleks mundur selangkah, seolah mencium bau napas naga sehabis menyemburkan api dari mulutnya.
"Pedasnya itu, biar mata melek terus pas ngaji. Sekali makan, langsung bisa khatam 30 juz tanpa ngantuk! Dijamin!"
Bagas menyeringai ngeri ke arah nasi uduk itu. Matanya membesar seperti melihat hantu. "Mal, itu pedas apa mau bikin api neraka? Warnanya aja udah kayak lava gunung berapi. Kok ada cabai utuhnya?"
"Biar semangat, Gas. Ini ada kerupuk melarat sama telur balado juga," tawar Kemal. Senyumnya semringah, seakan-akan saat ini ia sedang menjual tiket ke surga. Dalam benaknya sudah membayangkan Ameera makan nasi uduk buatannya dan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, atau lebih tepatnya, pada suapan pertama.
Luthfi hanya menggelengkan kepala. Rambutnya lurus belah pinggirnya, tampak sedikit bergoyang. "Kamu yakin, Mal? Pedas banget, lho, kayaknya. Nanti kamu sendiri yang nangis-nangis di mushola."
"Pedas itu kan tantangan, Fi. Ibarat hidup yang lagi dijalani. Kalau nggak ada tantangan, nggak bakal seru. Life is never flat, Bro," jawab Kemal penuh percaya diri, seakan-akan nasi uduk pedas itu adalah filosofi hidupnya yang paling dalam. "Dan kalau nggak ada tantangan, nggak bakal bisa meluluhkan hati Ameera!"