Disiplin. Fokus. Target. Itulah prinsip yang selalu ia pegang teguh, bahkan dalam urusan membaca Kitab Suci. Bagi Luthfi Maulana, Tantangan Khatam Qur'an bukan ajang drama atau lomba kuliner. Ini adalah sebuah misi.
Sebuah sprint 30 juz yang harus diselesaikan dengan presisi, layaknya lari maraton atau duel silat. Otot-ototnya mungkin tidak tegang seperti saat latihan fisik, tapi otaknya bekerja keras, menghafal, memahami, dan mencoba menyerap setiap huruf.
Setelah menemukan fakta bahwa mendiang ayahnya, Alm. Pak Syamsul, seorang atlet tangguh, juga seorang juara lomba baca puisi, Luthfi merasa ada panggilan baru dalam dirinya. Ia harus membuktikan bahwa ia bisa menjadi yang terbaik, tidak hanya dalam fisik, tetapi juga dalam batin. Sebuah kombinasi yang sempurna, pikirnya.
"Kalian ini serius nggak sih?" tanya Luthfi suatu pagi, saat melihat Kemal sibuk dengan timer di ponselnya—bukan untuk menghitung waktu membaca Qur'an, melainkan untuk memanggang kue bolu "berkah ngaji" dengan sedikit sensasi rasa agak pedas dari sebelumnya. Aroma butter dan cabai sudah tercium samar-samar dari sudut kantin. Sementara Bagas masih terlihat sibuk dengan earphone-nya, mungkin sedang mendengarkan rekaman puisinya sendiri yang sudah terlanjur viral di grup Rohis, lengkap dengan tagline "terong dicabein".
"Serius atuh, Fi. Kalau urusannya menyangkut Ameera mah," jawab Kemal sambil mengoles butter pada loyang. Gerakannya tampak cekatan seperti chef profesional. "Ini kue level upgrade. Pedasnya pas, manisnya pol. Nanti bisa bikin semangat ngaji. Percaya deh, dari perut turun ke hati, dari hati turun ke Al-Qur'an." Kemal mengedipkan mata, berusaha meyakinkan Luthfi yang memerhatikan dirinya dengan raut wajah penuh keraguan
Bagas menghela napas dramatis, seperti sedang membaca puisi tentang kehidupan. "Kalau aku, sih, sekarang lebih fokus ke menghayati diksi Tuhan. Lebih dalam dari puisi mana pun. Aku mencari makna yang tersembunyi di balik setiap ayat."
Luthfi menggeleng-gelengkan kepala. Mereka berdua ini memang ajaib, selalu menemukan cara unik untuk menghadapi setiap tantangan. Tapi baginya, Sprint Juz adalah hal yang sangat serius. Ia bahkan membuat jadwal harian yang ketat. Subuh satu juz, istirahat sekolah satu juz, dan magrib dua juz.
Segalanya dihitung serta harus sesuai target, tidak boleh meleset sedetik pun, layaknya jadwal latihan olahraga yang ia terapkan selama ini. Luthfi memvisualisasikan setiap juz sebagai sebuah lintasan lari. Ia harus menaklukkannya, mengalahkan rekor pribadinya sendiri.
Setiap pagi, di mushola, Luthfi adalah yang pertama datang dan terakhir pulang. Ia membaca dengan tartil, mencoba fokus pada setiap huruf dan makna, seakan-akan sedang membedah setiap kata. Ia bahkan mengukur kecepatan bacanya per halaman, mencoba memecahkan rekornya sendiri. Keningnya sering berkerut, bibirnya berkomat-kamit, berusaha agar tidak ada satu huruf pun yang salah.
"Kamu serius banget, sih, Fi," tegur Ameera suatu pagi, saat menyaksikan Luthfi berkeringat dingin setelah sesi tilawah pagi. Keringat membasahi rambutnya, seperti habis lari maraton. "Jangan terlalu dipaksakan. Al-Qur'an itu dibaca dengan tenang, bukan dikejar seperti latihan fisik. Jangan sampai kamu ngaji sambil ngos-ngosan. Pahami makna di setiap terjemahan ayatnya."
"Ini kan juga latihan, Ameera." Luthfi membantah. Sesekali terlihat mengusap keringat di dahinya. "Latihan konsentrasi sekaligus kesabaran. Kalau nggak disiplin, kapan khatamnya? Targetku, sebelum 30 hari, aku udah selesai baca 30 juz."
Ameera tersenyum tipis. Senyum yang selalu membuat hati Luthfi sedikit berdesir, meskipun ia berusaha menyembunyikannya lewat ekspresi datar yang selalu ia tunjukkan selama ini.
"Disiplin itu bagus, Fi. Tapi jangan sampai melupakan hati. Al-Qur'an itu juga perlu dihayati, bukan cuma dihafal." Ameera beranjak menuju perpustakaan, meninggalkan Luthfi yang mendadak merenung dengan cukup lama.
Ucapan Ameera barusan terngiang-ngiang di benak Luthfi.
"Jangan sampai melupakan hati. Apa maksudnya?" Dahi Luthfi berkerut seraya berpikir keras, berusaha menemukan jawabannya.
Ayahnya juga dulu selalu menekankan tentang disiplin dan target. Apakah itu yang membuat sang ayah memendam sisi puitisnya? Sisi lain yang tak pernah ayahnya tunjukkan pada siapa pun, termasuk pada Luthfi.
Sejak berjalannya kegiatan khatam Quran, perpustakaan mendadak menjadi tempat favorit Luthfi untuk melancarkan aksi Sprint Juz-nya. Tempatnya tenang, dingin, dan minim gangguan, terutama dari kedua rivalnya yang selalu berhasil membuyarkan konsentrasinya. Perpustakaan memang jarang dikunjungi Bagas dan Kemal. Sehingga tempat ini sudah dipastikan jauh dari riuhnya Bagas dengan diksi puitisnya dan eksperimen kuliner Kemal yang bisa bikin perut melilit. Di ruangan ini, ia bisa benar-benar fokus.
Suatu sore, setelah pulang sekolah, Luthfi langsung menuju perpustakaan. Ia memilih meja di sudut, dekat jendela, di mana cahaya matahari sore masih bisa menerobos dengan lembut, menciptakan nuansa keemasan di antara rak-rak buku yang menjulang. Ia mengambil Al-Qur'an kecilnya, yang sudah lusuh karena belakangan ini sering dibuka, lalu mulai membaca juz 15.
Suasana perpustakaan sangat hening. Hanya terdengar suara lirih Luthfi yang membaca ayat-ayat suci. Sesekali diselingi suara lembaran halaman yang ia balik. Cowok rambut belah pinggir itu, larut dalam bacaannya. Setiap huruf, setiap harakat, setiap tasydid ia perhatikan dengan seksama, seolah sedang menganalisis gerakan lawan dalam pertandingan. Ia merasa bacaannya kini semakin lancar dan khusyuk. Tubuh Luthfi terasa ringan, pikirannya pun jernih, seperti sedang melayang di atas awan, menembus lapisan-lapisan langit. Luthfi menghela napas lega. Sori ini ia berhasil menyelesaikan dua juz sekaligus.
"Rekor baru, nih," ucap Luthfi bangga seraya menggumamkan hamdallah. Ia menutup Al-Qur'an-nya, kemudian kembali menghela napas lega.