Ada rahasia di balik setiap ayat, dan ada rahasia di balik setiap kata yang tak terucap. Bagas Raditya Omara, si Puitis Gandunga, dulunya hanya sibuk mencari rima dan diksi paling dramatis untuk menggombali Ameera. Namun, setelah insiden rekaman puisi dangdut di ruang Rohis yang bikin blushing tujuh turunan dan penemuan surat lama ibunya, pandangan dia terhadap misinya mulai berubah drastis.
Ayat-ayat Al-Qur'an, yang sebelumnya terasa seperti kumpulan kata-kata asing, kini perlahan mulai membuka makna yang lebih dalam. Setiap hurufnya seperti kunci menuju harta karun tersembunyi. Ia mencoba mengaitkan keindahan bahasa Al-Qur'an dengan puisinya, sebuah upaya untuk menemukan harmoni antara wahyu dan imajinasi, antara Kitab Suci dan buku diary remajanya.
"Kalian sadar nggak sih?" tanya Bagas suatu pagi di mushola, setelah sesi tilawah yang berjalan lebih lancar dari biasanya.
Suasana mushola masih sedikit sepi, hanya ada mereka bertiga. Ia kini lebih fokus, meski tetap ada sedikit nada melankolis dalam nada bicaranya, sebagai ciri khas Bagas yang selalu dramatis.
"Ayat-ayat Al-Qur'an itu... kayak puisi, tahu nggak? Ada ritmenya, ada keindahannya, ada maknanya yang berlapis-lapis."
Kemal, yang masih sedikit paranoid setelah insiden nasi uduk super pedasnya yang membuat ia dan guru-guru terdampar di UKS, hanya mengangguk pelan sambil menyesap teh hangatnya. Ia masih trauma dengan cabai. Sampai-sampai Kemal kemarin-kemarin hanya membuat makanan tanpa rasa pedas untuk ngaji berkah.
"Iya sih. Tapi kalau diucapkan salah tajwid, rasanya kayak rendang kurang bumbu, Gas. Rasanya jadi aneh, hambar, nggak nampol gitu."
Luthfi, yang kini sudah mulai bisa rileks setelah 'terjebak' di perpustakaan bersama Pak Arman dan menemukan 'pola' masa lalu ayahnya, menatap Bagas dengan pandangan tertarik. Ada gurat penasaran di wajahnya yang biasanya datar. "Maksudmu, ada sastranya?"
"Betul!" Bagas mengangguk semangat. Matanya berbinar-binar seperti menemukan ide puisi baru. "Lihat deh, Surah Ar-Rahman. Ayatnya yang berulang-ulang 'Fabiayyi ala irobbikuma tukadzdziban' itu, kayak refrain dalam lagu. Mengajak kita merenungkan nikmat Allah. Itu kan mirip teknik repetisi dalam puisi, Fi!"
Kemal mengernyitkan dahi, kepalanya sedikit miring. "Gas, kok kamu jadi mendalami gitu? Jangan-jangan gara-gara sering dengerin wejangan dari Pak Arman yang penuh filosofi aneh itu, ya?" Kemal bergidik ngeri. "Jangan bilang kalau kamu bakal jadi ikutan aneh."
"Bukan!" sergah Bagas. Pipinya sedikit memerah akibat cuaca terik yang semakin terasa panas. "Ini inspirasi murni! Ayat-ayat itu indah. Mereka punya kekuatan untuk menyentuh hati. Lebih dalam dari sekadar gombalan puisi!"
Kemal dan Luthfi hanya mengangguk-angguk, antara mengerti atau sama sekali tak memahami jalan pikiran rival mereka itu.
****
Sejak saat itu, Bagas punya kebiasaan baru yang tak seperti biasanya ia lakukan. Selain membaca Al-Qur'an, ia juga sering membolak-balik surat lama ibunya yang ditemukan di laci ayah. Surat balasan dari Majalah Remaja "Cahaya Pena" itu kini terasa seperti kunci untuk memahami lebih banyak tentang orang tuanya, sebuah teka-teki yang harus ia pecahkan. Puisi ibunya yang berjudul "Senja di Tepian Mimpi", selalu membuat jiwa Bagas semakin meronta-ronta penasaran. Ia merasa ada yang lebih dari sekadar kata-kata puitis di sana. Bait-baitnya seperti menyiratkan sebuah pesan tersembunyi.
Suatu sore, Bagas sedang sendirian di kamarnya. Suara jangkrik mulai terdengar sayup-sayup, dan cahaya senja yang temaram masuk melalui celah jendela, menciptakan suasana melankolis yang sempurna untuk berpuisi. Ia membuka Al-Qur'an dan mulai membaca Surah Ar-Rahman. Ia ingin menghafalnya, karena Ameera pernah berkata bahwa Surah Ar-Rahman adalah salah satu surah favoritnya. Demi Ameera, ia rela menghafal seluruh isi Al-Qur'an jika perlu.
"Bismillahirrahmanirrahim. Ar-Rahman. Allamal Qur'an. Khalaqal insaan. Allamahul bayan..."
Bagas membaca perlahan, mencoba meresapi setiap ayat, seperti sedang menghirup aroma kopi di pagi hari. Ia merasakan getaran halus dalam dadanya. Keindahan bahasa Al-Qur'an memang luar biasa dahsyat, seperti mukjizat. Setiap hurufnya seperti melodi yang menenangkan. Setiap pengulangan ayat 'Fabiayyi ala irobbikuma tukadzdziban', terasa seperti penekanan, sebuah peringatan yang lembut namun kuat, sebuah pengingat akan kebesaran Tuhan.
Saat ia membaca ayat ke-13: 'Fabiayyi ala irobbikuma tukadzdziban', lalu ayat ke-14: 'Khalaqal insaana min sal-salinkalfakhkhar' (Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar), tiba-tiba pikirannya melayang. Ia teringat bait puisi ibunya. Kemudian, Bagas mulai membaca beberapa baris puisi.
Senja di tepian mimpi, jiwa terlukis tanah,