Setiap pukulan, setiap jatuh, ada pelajaran. Namun luka ini, mengapa masih terasa pedih menusuk? Bagi Luthfi Maulana, hidup selalu tentang progress. Mengatasi rintangan, melampaui batas, mencapai puncak. Tapi ada satu "luka" yang tak pernah bisa ia taklukkan, sebuah jurang yang menganga dalam hatinya: kematian ayahnya, Alm. Pak Syamsul.
Semakin ia mendalami ayat-ayat Al-Qur'an, semakin ia teringat sosok itu. Rasa bersalah karena belum sempat berpamitan, kini menghantuinya seperti bayangan gelap di siang bolong. Ia selalu membayangkan ayahnya sebagai sosok yang kaku, disiplin, dan hanya berfokus pada kekuatan fisik dan logika. Namun, penemuan piala lomba puisi dan pengakuan Pak Arman tentang ayahnya yang juga pernah terkunci di perpustakaan karena terlalu khusyuk membaca, sedikit mengubah pandangannya. Sebuah celah kecil terbuka, menunjukkan sisi lain dari ayahnya. Kini, di setiap ayat yang ia baca, Luthfi merasakan kehadiran ayahnya, seolah pesan tersembunyi sedang disampaikan.
"Kamu yakin, Fi, Pak Arman itu bukan peramal?" bisik Bagas suatu pagi di mushola.
Suaranya sengaja dibuat misterius. Ia menunjuk Pak Arman yang sedang duduk di sudut, mengamati siswa-siswa mengaji dengan tatapan datarnya yang menembus jiwa.
"Dia tahu semua rahasia kita. Dia tahu soal puisi Mama aku, terus tentang rahasia Ayah kamu juga bolu masa lalu ayahnya Kemal. Jangan-jangan dia time traveler? Atau punya crystal ball di balik kacamata hitamnya?"
Kemal mengangguk-angguk setuju, matanya memicing ke arah Pak Arman. "Atau dia cenayang yang lagi on duty. Makanya pakai kacamata hitam terus, biar nggak ketahuan kalau lagi baca pikiran orang. Nanti privacy kita terganggu."
Luthfi hanya menggelengkan kepala. Ia tak peduli dengan teori konspirasi Bagas dan Kemal yang semakin liar. Ia terlalu sibuk dengan perasaannya sendiri, pusaran emosi yang tak kunjung reda. Setiap kali ia membaca ayat tentang kematian, tentang kehidupan setelahnya, bayangan ayahnya muncul dengan begitu jelas. Ia ingat, hari itu, ayahnya pamit untuk lari pagi.
"Luthfi, Ayah berangkat. Jaga rumah baik-baik ya." Kalimat sederhana yang menjadi pesan terakhir dari sang ayah.
Ia tak pernah membayangkan itu akan jadi perpisahan selamanya, sebuah kalimat yang mengukir luka di hatinya. Sejak itu, Luthfi memendam semua emosi. Ia menganggap dirinya harus kuat, seperti ayahnya, seorang atlet yang tak pernah menyerah. Tapi kini, di balik setiap ayat, ia merasakan luka lama itu kembali menganga, memaksanya untuk merasakan apa yang selama ini ia tekan.
"Kamu terlalu membebani dirimu, Luthfi," kata Ameera suatu siang, saat mereka bertiga sedang mengaji bersama di teras mushola yang teduh. Ameera menatap Luthfi yang terlihat tegang, bahunya kaku. "Al-Qur'an itu obat hati, bukan beban. Kalau dibaca dengan hati, rasanya beda. Lebih ringan."
Luthfi hanya mengangguk. Ia tahu itu. Tapi melepaskan beban di hatinya, ternyata jauh lebih sulit daripada sprint 100 meter, bahkan lebih sulit dari menaklukkan rintangan terberat sekalipun.
Mushola sekolah kini menjadi tempat favorit Luthfi untuk menghabiskan waktu. Ia sering datang lebih awal, atau pulang paling akhir, hanya untuk bisa sendirian dan fokus mengaji, mencari ketenangan di antara hiruk pikuk sekolah. Ia mencoba menerapkan saran Pak Arman, membaca dengan ketulusan, bukan hanya mengejar target. Ia ingin memahami, bukan sekadar menghafal.
Suatu siang, setelah jam pelajaran usai, Luthfi memutuskan untuk tetap di mushola. Lorong sekolah sudah sepi, hanya menyisakan gema langkah kaki terakhir para siswa. Suasana mushola sunyi senyap. Hanya suara desiran angin yang masuk melalui jendela dan suara samar-samar kendaraan dari luar yang sesekali lewat, mengganggu ketenangan. Luthfi mengambil Al-Qur'an-nya, membuka juz yang sedang ia hafal. Ia mencoba menerapkan saran dari Ameera dan Pak Arman. Membaca dengan tartil, merasakan setiap makna, setiap huruf yang membentuk kata.
"Wa annahu huwa amata wa ahya..." (Dan sesungguhnya Dialah yang mematikan dan menghidupkan).
Ayat itu terasa menampar Luthfi. Kematian. Hidup. Ia memejamkan mata, membiarkan perasaannya mengalir. Mengapa selama ini ia harus merasa bersalah? Ayahnya pergi karena takdir Allah. Namun, ia merasa belum siap. Belum sempat mengatakan 'Aku sayang Ayah'. Belum sempat memeluknya untuk terakhir kali. Belum sempat berpamitan dengan layak. Penyesalan itu menghimpit dadanya.
Ia terus membaca, khusyuk, hingga ia tak menyadari bahwa ada dua suara yang mendekat ke mushola. Suara itu terdengar samar-samar, seperti bisikan angin yang membawa pesan, tapi semakin jelas saat langkah kaki mendekat.