Terlalu banyak yang disembunyikan. Ibarat syair yang indah, tapi tak pernah dibaca orang. Bagas Raditya Omara, si Puitis Gadungan, kini merasa hidupnya adalah sebuah novel misteri yang bab-babnya terus bergelombang, penuh teka-teki tak terduga.
Setelah insiden rekaman puisi dangdut di ruang Rohis yang memalukan, penemuan puisi lama ibunya yang ternyata tafsir bebas Surah Ar-Rahman, dan terutama, setelah Luthfi mendengar percakapan misterius antara Bu Lidya dan Pak Arman tentang kematian ayah Luthfi, kecurigaan Bagas pada satu sosok itu semakin menguat, mengukir kerutan di dahinya yang biasanya selalu terlihat santai.
Pak Arman, sang guru pengganti yang aneh itu, sepertinya punya hubungan dengan orang tua mereka semua, dan tahu semua rahasia yang tersembunyi seperti seorang dalang yang mengendalikan lakon dari balik layar.
"Aku bilang juga apa," bisik Bagas pada Kemal dan Luthfi di kantin yang ramai.
Suara bising sendok beradu dengan piring tak mampu menenggelamkan nada konspirasinya. Pak Arman lewat dengan langkah tenang, kacamata hitamnya seperti biasa terpasang rapi, menyembunyikan tatapan misteriusnya.
"Dia itu bukan guru biasa. Dia itu 'arsitek rahasia' kita. Pengatur skenario hidup," lanjutnya sembari melirik ke arah guru itu.
Kemal mengangguk setuju sambil mengunyah siomay dengan ekspresi serius yang kontras dengan pipinya yang menggembung.
"Bisa jadi, dia juga tahu isi kulkas aku, Gas. Pas aku teh mau bikin masakan baru, dia selalu muncul tiba-tiba kasih 'kode' bumbu yang cocok. Persis kayak chef pribadi yang punya indera keenam."
Luthfi, yang kini terlihat lebih murung dari biasanya, seolah awan kelabu menggantung di atas kepalanya setelah mendengar percakapan tentang ayahnya, hanya bergumam pelan. "Dia tahu tentang almarhum Ayahku. Ada rahasia di balik kematiannya yang selama ini tertutup rapat."
"Maksudmu, kecelakaan ayah kamu bukan kecelakaan biasa?" tanya Bagas, matanya membesar, menangkap benang merah dari teka-teki yang semakin rumit ini.
Luthfi menghela napas berat, beban di pundaknya terasa nyata. "Bu Lidya bilang Ayah meninggal dengan rahasia yang tidak terungkap. Dan Pak Arman bilang Ayahku juga seorang 'penyair'."
Bagas menatap Pak Arman yang kini sedang berdiri di depan kantor guru, berbicara dengan Pak Haryo. Sosoknya, meski datar, memancarkan aura kebijaksanaan yang tak terjangkau.
"Nah, itu dia! Dia itu kayak dalang yang tahu semua plot cerita kita. Dia tahu puisi Ibu aku yang nyangkut di Surah Ar-Rahman. Anehnya, dia juga tahu soal ayah kamu yang puitis juga. Jangan-jangan dia guru spiritual yang lagi melakukan penyamaran? Atau agen rahasia yang lagi menyamar jadi guru BK?"
Kecurigaan Bagas pada Pak Arman semakin kuat seiring dengan kode-kode misterius yang sering Pak Arman lemparkan. Kode-kode itu terasa personal, menusuk langsung ke relung hatinya. Misalnya, saat Bagas sedang merenungkan puisi ibunya yang baru ia temukan, Pak Arman tiba-tiba lewat di lorong yang sepi, seperti hantu yang berbisik. "Setiap kata punya jiwa, Bagas. Jika kamu gali, kamu akan temukan mutiaranya. Sama seperti lautan yang menyimpan banyak kekayaan." Lalu ia tersenyum samar dan berlalu pergi, meninggalkan Bagas dengan seribu pertanyaan di kepala yang berputar tak henti.
Atau saat Bagas mencoba menghafal Surah Ar-Rahman, ayat demi ayat terucap dari bibirnya, Pak Arman tiba-tiba saja mengirimkan pesan singkat ke grup Rohis, "Ingat, setiap pengulangan adalah penekanan. Setiap penekanan adalah doa. Dan setiap doa, adalah pintu menuju rahasia. Bukalah pintu itu dengan keyakinan."
Bagas merasa itu ditujukan padanya, sebuah isyarat tersembunyi yang benar-benar perlu ia pahami.
***
Suasana sekolah semakin ramai menjelang acara Maulid Nabi. Panitia Rohis dan OSIS sibuk mempersiapkan panggung yang megah, dekorasi yang memukau dengan kaligrafi indah, dan tentu saja, stand makanan yang dikoordinir oleh Kemal, yang kini terlihat lebih bertanggung jawab, mungkin karena trauma insiden nasi uduk pedas.
"Aku sudah siapkan resep nasi kebuli anti-galau, dan kue kering 'cinta islami' yang dijamin bikin hati adem," kata Kemal bangga, saat mereka bertiga sedang membantu menata meja di aula yang luas. Aroma rempah dari masakannya sudah tercium samar.
"Aku masih fokus menghafal juz ini," timpal Luthfi , seperti tak mau kalah dari rivalnya.
Al-Qur'an kecil tak pernah lepas dari tangannya, seakan-akan kini telah menjadi bagian dari dirinya. Wajahnya terlihat lelah, kantung mata menghitam, tapi ada tekad membara di sana, seperti api kecil yang terus menyala.
"Dan aku," ucap Bagas sembari merapikan kursi, "akan mempersiapkan puisi. Siapa tahu Pak Arman minta aku bacakan puisi lagi. Aku masih trauma dengan insiden terong dicabein. Puisi kali ini harus aman dari unsur kuliner." Ia bergidik mengingat kengerian masa lalu.
Benar saja. Pagi itu, saat gladi bersih acara Maulid Nabi, Pak Arman tiba-tiba mendekati Bagas. Wajahnya seperti biasa, datar tanpa ekspresi, seperti topeng yang tak terbaca, tapi Bagas bisa merasakan aura misterius tersirat dari raut tenang itu.
"Bagas," panggil Pak Arman, suaranya tenang namun mengandung ketegasan.
Bagas langsung tegang, bulu kuduknya meremang. "Iya, Pak?"
"Saya ingin kamu membacakan puisi di acara nanti," kata Pak Arman. "Bukan puisi yang kemarin. Tapi puisi yang... dari hatimu. Yang paling jujur. Yang menggambarkan dirimu seutuhnya."
Jantung Bagas berdegup kencang, seperti menabuh genderang perang di dalam dadanya. Puisi yang paling jujur? Ia punya banyak puisi jujur tentang orang tuanya yang pura-pura harmonis, tentang rahasia ibunya yang terungkap, dan bahkan rahasia ayah Luthfi yang kini mulai terungkap. Namun, membacakan di depan guru-guru dan seluruh siswa, bahkan mungkin beberapa orang tua? Ini gila! Ini adalah panggung neraka bagi hati seorang penyair yang terbiasa bersembunyi.