Jomblo Rivarly

Suci Asdhan
Chapter #16

Rasa Sejati

Bukan lagi bekal demi cinta, tapi bekal demi hati yang sehat. Kemal Virendra, si Chef Cintaku yang sempat membuat kehebohan dengan membuat masakam yang gagal, akhirnya menemukan rasa sejati dalam hidupnya. Setelah insiden kue bolu keasinan yang memalukan, nasi uduk super pedas yang hampir membuatnya dan Pak Junaedi masuk UGD, dan terutama setelah obrolan 'masakan hati' yang menenangkan dengan Pak Arman, Kemal kini menyadari satu hal.

Selama ini ia terlalu sibuk menyenangkan orang lain. Mengkhawatirkan pandangan Ameera, mencari validasi, sampai lupa kalau perut dan hatinya sendiri juga butuh diisi dengan nutrisi yang tepat. Ia selalu ingin jadi ‘anak baik’, selalu ingin diandalkan, agar tidak ditinggalkan, agar selalu dicintai. Namun sekarang, ia belajar kalau mencintai diri sendiri itu adalah resep paling utama, fondasi dari semua kebahagiaan.

Peristiwa Maulid Nabi kemarin, di mana Bagas membacakan puisi paling jujurnya yang bikin satu aula mendadak hening seperti situasi di kuburan pada tengah malam, membuat Kemal merenung dalam-dalam. Bagas berani mengungkapkan isi hatinya yang paling dalam, bahkan jika itu pahit dan mungkin menyakitkan hati orang tuanya. Luthfi juga, dengan segala beban misteri ayahnya yang masih menggantung, tetap berusaha mencari kebenaran, menatap masa lalu dengan tegar. Kedua rivalnya, dengan segala drama personal yang mereka pikul, mengajarkan Kemal satu hal paling berharga dalam hidup, yaitu kejujuran itu penting, bahkan sangat vital. Dan kejujuran yang paling sulit, kata Pak Arman, adalah jujur pada diri sendiri, mengakui kelemahan dan merangkulnya.

"Gila sih, Gas," celetuk Kemal pada Bagas suatu pagi, saat mereka sarapan di kantin yang mulai ramai. Aroma gorengan dan kuah bakso menyelimuti udara. "Puisi kamu kemarin itu teh, ngeri banget. Langsung kena ke jantung. Aku ikut merinding dengernya."

Bagas menghela napas panjang, beban di pundaknya terasa sedikit terangkat. "Rasanya lega, Mal. Walaupun nggak tahu nanti Ayah sama Ibu gimana kelanjutannya." Suara Bagas terdengar lebih serak dari biasanya. Bayangan kesedihan masih tampak jelas di matanya. "Rasanya... aneh aja. Bertahun-tahun hidup dengan sandiwara, terus tiba-tiba semua terbongkar di depan umum."

Luthfi, yang tadinya hanya diam menyimak, kini menatap iba Bagas. "Aku tahu rasanya, Gas. Hidup dengan rahasia itu berat. Apalagi rahasia keluarga." Ia menghela napas, teringat misteri kematian ayahnya. "Tapi kamu mah hebat, udah berani, itu yang penting. Lebih baik tahu, daripada terus hidup dalam kebohongan yang membelenggu."

Kemal mengangguk, lalu menepuk punggung Bagas pelan. "Bener kata Luthfi. Dan kamu nggak sendiri, Gas. Kita ada di sini." Ia mencoba melucu, "Mungkin sekarang ortu kamu teh, lagi butuh waktu, kayak aku pas nyari resep baru, butuh merenung sejenak. Kadang hasilnya aneh dulu, tapi nanti juga ketemu rasanya yang enak di lidah, yang pas dan nggak hambar atau berlebihan."

Bagas menatap kedua temannya, sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, terukir di bibirnya. "Makasih, ya." Matanya memancarkan rasa terima kasih yang mendalam.

Mereka berdua, yang dulu ia pikir hanya rival dalam mengejar cinta monyet, ternyata punya masalah yang jauh lebih kompleks, jauh lebih dalam dari sekadar mencapai nilai ulangan di atas rata-rata atau mengejar ranking kelas. Dan mereka berani menghadapinya, berani menyelami luka mereka sendiri. Kemal, yang selama ini sibuk dengan wajan dan bumbu, sibuk menciptakan citra ‘sempurna’, merasa sedikit tertinggal, namun juga termotivasi.

Sejak saat itu, Kemal mulai mengubah kebiasaan memasaknya, dan bahkan cara pandangnya terhadap makanan.

Jika dulu ia memasak dengan tujuan utama menyenangkan orang lain, kini ia memasak karena mencintai prosesnya, mencintai setiap aroma yang tercium, setiap potongan bahan, setiap perpaduan rasa. Ia mulai memasak untuk dirinya sendiri, dengan resep yang ia suka, tanpa memikirkan apakah itu akan ‘nampol’ di lidah juri, atau ‘berkah’ di mata Pak Arman, atau ‘romantis’ di mata Ameera. Rasanya berbeda. Lebih ringan, lebih tulus, seperti masakan rumahan yang dibuat dengan cinta sejati, bukan paksaan.

"Ma, Kemal bikin nasi goreng spesial lho hari ini," kata Kemal suatu malam di dapur kesayangannya yang terasa lebih hangat dari biasanya, karena kehadiran sang mama yang belakangan ini lebih sering pulang kerja tak terlalu larut malam lagi.

Aroma rempah dan bawang goreng memenuhi ruangan. Ia membuat nasi goreng dengan topping yang ia suka, tanpa embel-embel 'cinta' atau 'berkah', hanya irisan sosis kesukaannya dan telur mata sapi setengah matang.

Bu Nanik tersenyum, sorot matanya lembut, penuh kasih sayang. "Wah, tumben. Biasanya kamu masakin Mama terus, atau bikin eksperimen aneh-aneh buat sekolah."

"Kan Kemal juga butuh makan, Ma," jawab Kemal sambil tertawa renyah. "Tapi kalau Mama mau, Kemal juga bikinin kok. Ini juga sebagian buat Mama."

Bu Nanik mengusap kepala Kemal, jemarinya membelai lembut rambut ikalnya. "Mama bangga sama kamu, Nak. Kamu sudah dewasa. Sudah bisa memikirkan diri sendiri, tapi tetap ingat orang lain."

Kemal merasakan kehangatan kasih sayang sang mama menjalar memenuhi hatinya. Pengakuan itu, rasanya lebih nikmat dari rendang terenak sekalipun, lebih manis dari kue bolu paling sempurna. Itu adalah pujian tulus yang berasal dari pemahaman, bukan sekadar basa-basi.

Tantangan Khatam Qur'an sudah hampir selesai. Para siswa sudah mendekati juz-juz terakhir. Kemal pun demikian. Meskipun masih sering terbata-bata saat membaca ayat-ayat panjang, tapi niatnya kini sudah berbeda. Bukan lagi demi Ameera, bukan lagi demi persaingan konyol, tapi demi dirinya sendiri, demi hati yang lebih tenang, demi menemukan kedamaian dalam setiap huruf suci.

Lihat selengkapnya