Tepat tenggah malam di Desa Suka Duka, Kec. Bahagia, Kab. Sentosa, Ibu Kota. Jono dan Emen sedang menikmati angin malam menusuk kulit kusam mereka yang hanya mengunakan baju kaos tipis tanpa lengan. Dengan sebatang rokok di tangan, asap menggumpal terbang bebas di udara.
Mereka berdua duduk bersandar, merenung menatap langit hitam tanpa bintang. Hanya di temani cahaya kendaraan yang berlalu lalang.
“Jon, menurutmu, untuk apa Tuhan menciptakan kita kedunia ini?,” tanya Emen.
Jono merenung, namun tidak terlalu lama.
“Men, aku tidak terlalu paham apa maksud Tuhan untuk menciptakan kita ke dunia yang kejam ini, aku hanya bisa menebak, menurutku, Tuhan menciptakan kita kedunia sebagai Hama bagi manusia lain,” jelas Jono.
“Maksud lo?” Emen kembali bertanya, ia kurang mengerti apa maksud dari perkataan Jono.
“Maksudnya, kita hidup di dunia ini hanya sebagai duri bagi orang lain. Kamu tahukan duri ini sipatnya menusuk?,”
“Ya, aku mulai mengerti. Atau mungkin lebih tetapnya kita ini hanya sampah masyarakat yang diciptakan Tuhan hanya untuk menodai bumi,” .
“Kalimatmu Men, sadis banget sih, ngatain diri sendiri,” ucap Jono tersenyum tipis sambil meniup gumpalan asap dari mulutnya.
“Memang begitukan, kalau dalam Film, sudah pasti kita berperan sebagai banditnya” Emen tersenyum menatap Jono.
“Nasib Men, lahir dari orang tua bajingan, yang tega telantarin anaknya” ucap Jono sinis.
“Sebajing-bajiangannya orang tuamu, mungkin orang tuaku adalah Anjingnya,” sahut Emen. “Coba saja kau pikirkan, Ayah dan Ibuku menikah, menikmati malam pertama, ditemani sinar bulan purnama di tengah kota, setelah aku terlahir kedunia ini, mereka memelukku, menyayangiku, aku adalah manusia yang paling beruntung saat itu, namun karena hal yang sepele, hanya gara-gara rebutan Remote TV, mereka bercerai, dan aku menjadi korbannya, di telantarkan bagaikan bangkai tikus yang sudah mulai membusuk, atau mungkin lebih sadis dari itu, ” jelas Emen. Air matanya hampir meletus.
“Uhhh, Hidup-hidup, katanya sementara, namun rasanya gak mau mati-mati, padahal hampir setiap hari bertaruh nyawa,” ucap Jono tersenyum tipis. “Hidup hanya asal-asalan saja, lihat orang lain hidup, kitapun ikut hidup, ya Men” ucap Jono.
“Betul juga Jon, kita hidup hanya karena orang lain hidup, bila orang-orang semua pada mati, mungkin kita juga bakalan mati Jon. Bagaimana pula mau hidup, mata pencarian gak ada lagi, siapa lagi yang mau kita rampok coba?”
“Hahahaha !,” Jono hanya tertawa mendengar omelan Emen.
Pagi semakin dalam, suara adzan subuh pun terdengar.
Ash-Sholaatu khoirum minan-nauum. . .
Ash-Sholaatu khoirum minan-nauum. . .
Jono dan Emen bergegas pulang, berjalan kaki beriringan.
“Jon, lo tahu arti Ash-Sholaatu khoirum minan-nauum pada saat adzan subuh tadi?” tanya Emen sambil berjalan.