18 Mei 1998
Saat sarapan pagi tadi, laki-laki itu masih terlihat gagah di usianya yang ke 76. Hari ini tepat 67 hari dia menyandang gelar presiden, entah yang ke berapa kali. Andaikan tinggal di desa pelosok, dia mentok hanya akan dipanggil mbah kakung atau mbah Manten Lurah yang sedang menikmati pensiun. Dua bulan lalu, Saat pelantikannya menjadi Presiden, entah yang ke berapa kali, warna putih di rambutnya memang sudah merata. Tetapi suaranya masih lantang, ‘powerful’ kalau kata media. Selantang saat pertama kali dilantik Presiden tahun 1967. Senyumnya juga masih sama, sulit diartikan. Senyum itu sama saja ketika meminta tolong diambilkan teh atau saat memerintahkan untuk menghabisi musuh-musuhnya. Senyum itu bahkan diabadikan dalam lembaran uang kertas Rp50.000.
Selesai makan malam, senyuman itu, suara lantang itu, bahkan tubuh gagah itu sirna begitu saja. Seperti siang berganti malam saat gerhana matahari di bulan Februari lalu. Pak Presiden tiba-tiba berubah menjadi seorang jompo. Tubuhnya tiba-tiba jadi tua renta dan lemah seperti layaknya kakek-kakek yang sudah mendekati ajal. Buyuten, kata orang Jawa. Dua orang di dekatnya tahu betul perubahan itu. Tatapan matanya tak lagi galak seperti singa. Tak banyak orang yang menyadari apa yang terjadi padanya, hanya dua orang itu tadi. Dua anaknya yang setia dan betah hidup di Istana Merdeka.
“Tom, coba kamu periksa lemari penyimpanan di ruang atas. Apa ada yang usil membuka atau mengambil isinya?” kata Siti pada adiknya yang sedang memijat-mijat tangan bapaknya.
Tom bahkan menyuapinya dengan beberapa sendok makan teh hangat untuk memastikan kesadarannya. Dokter sudah dipanggil lima menit lalu dan sedang menyiapkan ruangan.
“Memang di lemari ada apa mbakyu? Itu kan area terlarang buat siapapun. Termasuk kita!” Tom melihat kakaknya dengan curiga, seperti hendak menjebaknya melakukan sesuatu yang terlarang di saat genting seperti itu.
“Yo, ndak usah kamu buka-buka. Lihat saja, pintu brangkasnya masih utuh tidak? Kalau perlu bawa Simbok buat menemani. Terus, kamu langsung ke sini, lapor!” kata Siti gemas, seperti menyuruh anak balita untuk duduk manis.
Kaca mata tebal Siti melorot karena menunduk memperhatikan bapaknya yang terkulai lemas di kursi.
“Iya, mbak. Jagain bapak dulu. Nanti aku susul ke ruang periksa.” Tom menciumi tangan bapaknya yang sudah terlihat kebingungan.
Bapaknya linglung, seperti tidak tahu berada di mana dan dengan siapa saja. Tangan itu tak sehangat biasanya. Tom masih menyembunyikan muka kagetnya pada semua orang di ruangan itu.
Tom berpapasan dengan dokter yang menjemput bapaknya. Hanya mengangguk pelan dengan wajah sama-sama khawatir. Siti lalu membantu bapaknya berdiri dan menuntunnya bersama dokter. Mereka berdua beradu pandangan mata, ada ketakutan tergambar dari mata sang dokter. Lalu berbisik pada Siti dengan lirih.
“Mungkin syaraf otak ini mbakyu.” Katanya seperti pada saudaranya sendiri.
Kepalanya menggeleng sambil melipat dahinya. Siti menahan air mata yang sudah menggantung di ujung mata. Kaca mata Siti yang tebal membuat air mata itu tersamar. Senyumnya dipalsukan untuk menjaga mata orang lain di ruangan itu.
“Bapak kelelahan, mungkin karena berita-berita di koran dan TV,” kata Siti berbohong pada dirinya sendiri.
Dokter memainkan stetoskopnya sekali lagi lalu memerintahkan seorang perawat untuk memeriksa tekanan darah.
Tom menarik tangan seorang wanita tua dengan sanggul yang sedang sibuk dengan arloji tua di pangkuannya menuju ruangan di ujung. Dengan hati-hati dia membuka pintu ruangan itu. Ada aroma parfum beradu dengan kain baru dan kapur barus yang tak terlihat wujudnya. Dilihatnya etalase tinggi berisi lencana keemasan hingga beberapa busana khusus. Busana itu hanya dikenakan bapaknya saat acara-acara penting.
Di ujung ruangan itu ada satu lemari besar dengan satu pintu kecil di tengah-tengahnya. Tom belum bisa memastikan bahwa itu brankas yang dimaksud. Terakhir memasuki ruangan itu saat dirinya masih 12 tahun dan kena marah ibunya. Padahal waktu itu, Tom hanya iseng memakai topi militer yang tergeletak di atas meja rias. Tom melihat sederet jam mewah yang satunya seharga dua mobil Kijang baru. Lalu memeriksa jam yang dipakainya. Matanya beralih ke pintu brankas yang menyerap cahaya, serba hitam dilapisi kain beludru.