Jonet: Anak Haram Reformasi

Erwin Abdillah
Chapter #2

Sakit yang Mustahil Disembuhkan: Harapan

Maesaroh melipat baju-baju seragam militer itu pelan sekali seperti memperlakukan barang mahal yang tak ada gantinya. Bau keringat lelaki itu masih bisa diciumnya dari wangi deterjen dan kapur barus yang bercampur di sela-sela kain itu. Senyum maesaroh mengembang, seperti gadis remaja yang mendapat bunga dari kekasihnya. Otaknya memutar kembali pertemuannya dengan lelaki itu yang akhirnya meminangnya lima tahun lalu. Mereka menikah dengan upacara sederhana namun mewah, disaksikan keluarga inti. Pernikahan di hotel terbesar di Ledok itu seakan dirahasiakan, tapi Maesaroh tidak peduli. Rasa cintanya pada pria berseragam itu mengalahkan ketakutannya dan keluarga besarnya pada pandangan orang-orang. Dia jadi istri kedua, mungkin lebih parah, istri simpanan.

Pertemuan-pertemuan Maesaroh dengan suaminya tak berlangsung lama, seringnya hanya dua-tiga hari. Mereka hanya bertemu beberapa bulan sekali, bahkan kadang hanya setahun sekali. Saat anak pertama mereka lahir, suaminya sedang bertugas di Yugoslavia sebagai atase militer di Beograd. Ayahnya lah, pak manten lurah Suwito, yang selalu membesarkan hati Maesaroh. Membelanya dari dunia dan mulut tetangga yang tanpa ampun. Ayahnya juga yang memegang sepucuk surat dari suaminya seminggu setelah anaknya lahir. Surat itu berisi foto-fotonya ketika di Yugoslavia dan nama yang dipilihnya untuk putra pertama mereka: Junaedi Hastomo Putra.

“Bagus sekali nduk nama anak ini. Dia akan menuruni sifat-sifat baik bapaknya. Artinya tentara dengan tangan yang terampil. Bapak suka nama ini.” Suwito lalu menyerahkan sepucuk surat yang diketik dengan rapi itu. Tak peduli siapa yang mengetiknya. Foto-foto suami Maesaroh lalu dilihatnya lekat-lekat.

“Hastomo, Tomo, panggilanmu nang. Semoga kamu jadi anak yang terampil. Seperti bapakmu yang terus naik pangkat!” Kata-kata ibunya dihembuskan pada kening bayi itu sambil melepaskan tangisan sukacitanya.

Usia Tomo hampir setahun ketika pertama kali digendong bapaknya. Kunjungannya ke Ledok waktu itu untuk urusan lain yang lebih penting. Mereka bertemu di lantai dua sebuah rumah makan bernama Restoran Asia, restoran termahal di Ledok. Seperti biasa, Maesaroh menerima belasan kotak bingkisan yang ditata rapi. Dua kotak ditulisi nama Tomo, satu kotak ditulisi nama Suwito. Mereka makan malam bersama. Maesaroh tak pernah merajuk atau menagih apapun pada suaminya. Dia adalah wanita yang cukup cerdas untuk tahu bahwa suaminya mengemban tugas besar untuk negara. Tak ada ruang untuk merengek soal remeh-temeh seperti gadis-gadis lain. Semua kebutuhannya tercukupi, juga anaknya. Soal bertemu setahun dua kali tak jadi soal.

“Setahun ini aku akan sulit datang ke Ledok, aku harus fokus pada operasi di Irian Barat. Doakan aku selamat sampai akhir tugas. Aku akan kirim telegram. Pak Wito, saya titip Saroh dan Tomo. Kabari kantor saya jika ada apa-apa, nanti biar anak buah saya yang urus,” Itulah kata-kata terakhirnya sebelum hampir dua tahun tak ada kabar. Satu kecupan di kening Maesaroh, pelukan singkat, dan ciuman di pipi Tomo mengakhiri pertemuan mereka. Maesaroh sempat mengejar mobil suaminya namun memutuskan membiarkannya pergi dan melambai dengan anggun. Tak pernah disangkanya bahwa pertemuan berikutnya akan berjarak terlalu panjang, hingga baju-baju yang disimpannya tak lagi meninggalkan bau apapun, selain kain apak dan kapur barus.

***


Usia Tomo sudah 10 tahun ketika membaca surat itu berkali-kali. Garis lipatan di kertas itu sudah semakin dalam dan hampir mengoyak salah satu sisinya. Ujung kertas itu sudah tumpul karena dibuka-tutup berkali-kali. Berhari-hari Tomo sibuk mencoba baju baru yang akan dipakainya, seperti kesenangan menyambut hari lebaran. Sepatu pantofel warna hitam, kaos kaki putih, celana panjang warna hitam dan kemeja panjang motif kotak-kotak ditata sempurna. Satu kaleng pomade merk ‘Lavender’ masih tak tersentuh dan ikat pinggang kulit ada di tumpukan baju itu. Tomo mematut badannya di kaca, bak peserta fashion show, beberapa gaya rambut dicoba Tomo dengan pomade milik kakeknya. Dari kejauhan ibunya tak bosan melihat tingkahnya, ikut tersenyum. Paras anak itu semakin mirip bapaknya. Hanya berbeda bentuk wajah dan rambut yang lebih lurus.

“Sudah ganteng nang. Nanti malah bapakmu susah mengenalimu. Terakhir ibu kirim foto waktu umurmu 7 tahun kelas 1 SD. Pas kamu menang lomba itu, lomba pidato ya nang?” Ibunya diam-diam juga menyiapkan beberapa gaun yang masih bingung dipilihnya untuk pertemuan itu. Dia merasa sebagai ibu negara yang hendak menghadiri acara penting sebagai tamu utama.

“Bapak sudah dikirimi surat balasan dari Tomo kan bu? Bukan yang dari tulisan tangan ibu?” Tanya Tomo untuk yang ke 27 kalinya hari itu. Ibunya sengaja tidak menjawab untuk membuatnya kesal.

Lihat selengkapnya