Wajah Handono babak belur, mata kanan dan kirinya merah seperti darah, sekeliling matanya lebam. Wajah Tomo lebih parah dengan luka sobek di pelipis kanan. Mereka berdua berjalan limbung dengan celana kotor saling menopang tubuh masing-masing, berangkulan, hingga menemukan tembok untuk berpegangan. Handono bukan saudaranya, juga bukan teman lama. Mereka baru 10 hari ada di kelas yang sama. Sama-sama murid pindahan dari sekolah lain. Kesamaan mereka lainnya adalah sulit menerima pendapat orang lain, terutama tentang diri mereka. Joko yang menyebut Tomo anak haram membuat tangannya gatal. Juga Handono yang dikatai pembawa sial tak terima, lalu Tomo dan Handono menantang Joko duel di belakang sekolah. Nahas, Joko membawa enam anak lain. Tomo dan Handono diserbu tanpa ampun. Hari itu mereka tak berani pulang ke rumah masing-masing.
Handono sama sekali tak punya tampang anak nakal seperti stereotip di film. Apalagi Tomo yang selalu tampil necis ketika ke sekolah. Handono dipindah, lebih tepatnya dikeluarkan dari sekolah lamanya karena dituduh membakar ruang guru dan mencelakai satu gurunya. Sementara Tomo meminta pindah karena tak ada guru yang mau memberinya nilai jelek, setidaknya nilai sesuai dengan kemampuannya. Tomo bahkan merasa tidak diperlakukan sebagai murid sebagaimana mestinya, kebal dari aturan-aturan yang wajib bagi murid lainnya.
Mereka berdua berjalan menuju sebuah bengkel tempat Tomo menitipkan sepeda motornya. Sore itu hanya ada seorang mekanik yang sibuk mengerjakan sepeda motor milik seseorang yang menunggu dengan raut tak sabar. Rokok yang dihisapnya seperti dipaksa untuk terus menyala tanpa ampun, tanpa jeda. Laki-laki itu masih berusia 20an, dengan penampilan aneh untuk orang seusianya. Menutup kepalanya dengan iket, berbaju surjan kedodoran, memakai jarik yang warnanya pudar, dan sandal kulit yang sangat tipis. Tubuhnya yang terlalu kurus membuatnya terlihat lebih tua 10 tahun. Ditambah jenggot yang dibiarkannya tumbuh liar menutupi lehernya yang terbalut kerah surjan.
“Kalau sampean ada sepeda motor nganggur, tak pinjam dulu ya? Ini acara sudah mau mulai.” laki-laki itu memohon sungguh-sungguh pada mekanik yang malas diganggu. Tomo mendengarkan pembicaraan itu dari jarak aman sambil membenahi bajunya yang kacau karena berkelahi. Segelas teh dari warung sebelah dibaginya berdua dengan Handono.
“Whaduh, maaf kang, ini motorku juga sedang dibawa orang. Tinggal satu motor titipan anak SMA seberang. Nah itu anaknya, duduk di pojok sambil minum teh.” Kata mekanik tak paham apa urusan si pemilik motor.
Tomo bangkit dengan susah payah, sambil merasakan kulitnya yang lecet merenggang dan melipat untuk kesekian kali. Merogoh kunci dari saku celana. Kakinya melangkah menuju laki-laki itu dan menyerahkan kuncinya. Wajahnya yang penuh luka dan lebam membuat laki-laki itu bergidik, sulit menebak apa yang akan dilakukan Tomo. Merasa ngeri membayangkan peristiwa yang tak dilihatnya setengah jam yang lalu. Darah di bajunya mulai mengering, menghitam.
“Pakai saja kang, aku masih di sini sampai sore. Nanti sepeda sampean tak bawakan ke tempatnya.” kunci dengan gantungan miniatur pesawat garuda itu menggantung hampir 10 detik sebelum disambar lelaki berbaju surjan lusuh itu.
“Jenengmu sopo nang, cah bagus. Baik sekali kamu sama orang asing. Hehe. Aku Karebet, asal dusun Gondokan. Orang-orang biasanya memanggil aku pawang hujan. Nanti sepedamu aku isi bensin full tank!” kata Karebet sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
“Aku Junaedi, baru pindah ke SMA depan. Tadi perang sama Joko, mas. Itu temanku Handono, sama, ikut perang juga.” Kata Tomo singkat.
“Loh, ajaib. Namamu kayak anaknya pangeran Diponegoro, Raden Mas Joned. Tak panggil den Jonet saja ya, lebih akrab!” Kata Karebet dengan mulut semanis gula jawa. Membuat mata Tomo terbuka lebih lebar, seperti mendapat pencerahan baru. Dengan panggilan baru itu, dia bisa membersihkan namanya sebagai anak bapaknya. Dia bebas dari citra seorang Tomo yang dianggap anak haram presiden, yang memang benar.
“Iya, panggil saja Jonet.” Tomo tiba-tiba membangun karakter baru dalam kepalanya. Menoleh pada Handono yang sedang meraba-raba arah pembicaraan itu. Sore itu Tomo secara resmi melantik dirinya sebagai Raden Mas Jonet di sebuah bengkel sepeda motor disaksikan tiga orang.