“Raja akan segera menurunkan tahtanya kepada putra mahkota, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Pangeran Jae Han kepada seseorang di hadapannya.
“Mengapa kau begitu khawatir,” Pria di hadapannya begitu tenang menjawab pertanyaan Jae Han sambil terus menikmati tehnya.
BRAAKKK
Pukulan keras dari Pangeran Jae Han cukup bergema di dalam hutan yang sepi di mana mereka berada sekarang.
“Hahahaha” Pria itu hanya tertawa sambil mengelus elus jenggotnya yang panjang dan sudah memutih itu.
“Apa kau sedang memancing hewan buas untuk datang ke tempat ini, Pangeran Jae Han. Kau harus berhati-hati dengan setiap tindakanmu, bagaimana jika nanti memang datang hewan buas, kita sedang berada di tengah hutan, kau tahu itu bukan? Hahahahaha”
Jae Han sama sekali tidak tertawa dan tidak merasa lucu dengan lelucon yang diberikan orang tersebut yang tidak lain adalah Menteri pertahanan yang merupakan pamannya sendiri.
“Kau harus bisa mengontrol emosimu, Jae Han!” ucapnya dengan nada yang serius. “Bangsa ini tentu tidak mau memiliki raja dengan emosi yang buruk, bukan? Hahahaha!” pria tua itu kembali tertawa dan meminum tehnya lagi dari sebuah cangkir yang kecil. Sedangkan Pangeran Jae Han hanya bisa mengepalkan tangannya menahan marah.
“Jangan memukul meja tua ini dengan tanganmu yang berharga,” ucapnya sambil mengelus-elus meja tua yang berada di tengah-tengah mereka. “Kau harus menggunakan tanganmu untuk sesuatu yang lebih berguna. Merebut tahta.”
Pangeran Jae Han membuang nafas berat, “Lalu apa yang kau rencanakan, paman?”
“Menunggu.”
“Mwo?” Jae Han tidak mengerti.
“Putra Mahkota tidak memiliki tubuh yang sehat, hanya tinggal menunggu waktu hingga akhirnya ia menjemput ajalnya. Biarkan ia merasakan tahtanya walau hanya sebentar.”
Jae Han tidak percaya dengan apa yang ia dengar, “Jika putra mahkota meninggal ketika ia sudah naik tahta maka anaknyalah yang akan menjadi pewaris berikutnya.”
“Hahahaha” ia hanya kembali tertawa, “Apa yang kau khawatirkan dari seorang anak kecil? hanya sekali pukulan saja kau bisa mengusirnya, bahkan dari tanah Joseon ini.”
“Kau ingin menyerang seorang anak kecil?”
“Jae Han Wangjangnim[1]! Mengapa kau tidak mengerti juga! Kau tidak menjadi seorang pemimpin jika masih menyimpan rasa kasihan dan peduli kepada orang lain! Kau harus membuang jauh-jauh perasaan itu karena itu hanya akan menjadi kelemahanmu!”
“Tapi aku ini pamannya, bagaimana mungkin aku melakukannya?” Jae Han masih tidak terima dengan keputusan pamannya.
“Aku Byeong Sok, juga akan melakukannya hal yang sama jika aku berada pada posisimu sekarang.”
“Nde?” Jae Han berkedip beberapa kali mencoba mencerna apa yang barusan saja pamannya katakan, nampaknya ia cukup terkejut dengan apa yang pamannya katakan.
“Joseon membutuhkan seorang raja yang kuat dan tidak akan goyah. Jika kau berhasil mengambil tahta dengan kekuatanmu maka mereka yang mencoba merebut tahtamu akan berpikir dua kali untuk melakukannya.”
Jae Han tidak menjawab pamannya lagi, ia hanya diam dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Naeuri[2]” Seorang penjaga masuk ke dalam dan membisikkan sesuatu kepada Byeong Sok
“Sepertinya pertemuan kita cukup sampai di sini. Kau kembalilah dan beristirahat.” Ucap Byeong Sok kepada Pangeran Han, “Dan kau bersihkan tempat ini tanpa meninggalkan jejak” ucapnya lagi kepada pengawal di belakangnya.