Keesokan harinya, hari Rabu, pukul 06.30 WIB, Tim sedang sarapan untuk hari pertama belajar di sekolah. Ketika sedang sarapan, HP yang ada di kamar tidurnya berdering. Tim yang saat itu sedang sarapan, langsung pergi menuju ke kamarnya untuk mengangkat HP tersebut. Ternyata, yang meneleponnya adalah Mike. Dengan penasaran Tim menerima panggilan itu lalu berkata, “Halo, Mike”. Mike menjawab, “Tim, buruan ke sini. Portal putih itu muncul lagi”. Kaget, Tim berkata, “APA? Dimana?”. Mike menjawab, “Di Ruang Kelas X-IPA. Tapi, gak ada monster ataupun makhluk lain yang keluar. Portal itu hanya muncul begitu saja”. Tim menjawab, “Oke. Kalau begitu, gua segera ke sana”. Tim langsung menghabiskan sarapannya.
Setelah sarapannya habis, dia langsung memakai seragam sekolahnya. Dia pamit kepada kedua orang tuanya dengan hati yang gundah. Dia ingin meminta izin, kalau dia bakal pulang lama, tapi rasanya sangat sulit untuk mengucapkannya. Akhirnya, dia menulis secarik surat di meja kerja ayahnya secara diam-diam sebelum pamit kalau dia akan menyelidiki kemunculan portal putih yang muncul di sekolahnya. Tim membawa HP-nya, untuk berjaga-jaga jika orang tuanya menanyai Tim. Lalu, dia meletakkan pedangnya ke dalam tas sekolahnya. Meskipun ganggangnya masih terlihat, tapi Tim bergegas keluar dari rumah sebelum orang tuanya membaca pesan dari Tim. Dia langsung pergi ke sekolah sambil membunyikan bel sepedanya, pertanda kalau dia akan berangkat.
Sekitar 4 menit, Tim sudah sampai di sekolah. Dia langsung berlari meletakkan tasnya di Ruang Kelas X-IPS. Lalu, dia pergi ke Ruang Kelas X-IPA yang ada di sebelah ruang kelasnya sambil membawa Pedang Eltraksta. Saat itu, ruang kelas X-IPS sudah dipadati oleh murid dan guru yang sedang melihat portal itu. Bahkan saking ramainya, Tim harus bersusah payah melewati keramaian itu.
“Permisi, numpang lewat”, ucap Tim ketika akan melewati keramaian itu. Akhirnya, dengan kerja keras, Tim sudah berada di dalam Ruang Kelas X-IPA. Ruang itu cukup luas, dengan panjang 15 m dan lebar juga 10 m. Di depan kelas, ada sebuah papan tulis yang cukup kotor, seolah-olah tidak lama dibersihkan. Lalu, di depan kanan papan tulis, ada meja guru yang terbuat dari kayu berwarna cokelat kehitaman, yang di atasnya ada taplak dan vas bunga. Lalu, di depan papan tulis, terdapat kursi dan meja yang berbaris rapi berwarna biru untuk para murid belajar. Di belakang ruang kelas, terdapat loker berwarna biru dan putih yang isinya kosong. Hanya gulungan kertas saja yang masih tersisa. Portal putih itu berada di sebelah kanan loker terakhir, di pojok kelas.
Ketika Tim sedang melihat-lihat, Mike, Dubert, dan Hilman menghampiri Tim. Dubert bertanya, “Jadi, bagaimana, Tim?”. Tim berdiri di pojok kelas yang lain sambil berpikir, bak seorang detektif yang sedang memikirkan sebuah kasus. Akhirnya, dengan muka misterius, “Man, apakah kamu siap?”. Hilman menjawab dengan muka heran, “Apa maksudmu, Tim? Siap untuk apa?”. Tim menjawab seolah-olah sedang memberikan kejutan, “Kita akan memasuki portal ini, bersama-sama!”. Mike, Dubert, dan Hilman terkejut dengan jawaban Tim yang tidak mereka kira. Mike menjawab, “Tapi, bagaimana dengan orang tua kita? Aku tidak bisa meninggalkan orang tuaku tanpa memberitahu apa-apa”. Dubert dan Hilman juga setuju dengan pendapat Mike. “Kalau begitu, kalian bawa HP, gak? Telpon orang tua kalian, katakan kalau kita mungkin akan pulang lama. Kalau kalian cukup berani, kasih tau alasannya”. Akhirnya, Mike, Dubert, dan Hilman mengambil HP yang ada di saku celana mereka, lalu menelepon orang tua mereka. Agar mereka bisa leluasa berbicara dengan orang tuanya, Tim keluar ruangan kelas sambil bersusah payah menyuruh keramaian itu untuk segera meninggalkan depan kelas.
Tim duduk di pinggir lapangan sekolah untuk menunggu kawan-kawannya selesai menelepon. Tiba-tiba saja, HP yang ada di saku celananya juga berdering. Benar saja, sesuai perkiraan Tim, yang menelepon adalah ayahnya. Dengan rasa cemas dan takut, Tim mengangkat panggilan telepon itu. Ketika ayahnya berbicara, Tim seolah-olah mendengar seorang pemimpin yang sedang menitipkan pesan kepada rakyatnya. Ini merupakan suara paling serius ayahnya dalam berbicara.
“Tim, Ayah tahu kalau Ayah tidak bisa melarangmu. Mungkin, sadar tak sadar, dunia sedang kau pertaruhkan. Atau mungkin dunia paralel, Ayah kurang tahu. Tapi, Ayah hanya ingin menitipkan pesan kepadamu: Kamu adalah pemberani, Tim. Jangan sampai apa yang kamu temui di dunia lain, membuatmu lari, apapun resikonya”. Ketika mengucapkan kata-kata itu, Tim mendengar suara ayahnya bergetar, seolah-olah ayahnya tidak rela meninggalkan anaknya. Dan perlahan-lahan, air mata Tim mulai bercucuran. Ayahnya melanjutkan dengan suara yang berat, “Berhati-hatilah disana, Tim. Ayah, Ibumu, dan juga Adekmu, akan terus mendoakanmu”. Untuk berbicara saja, Tim merasa sangat berat. Dengan suara sedih dan menangis, “Maka…makasih, Yah. Titip cium kasihku ama Adekku dan Ibuku. Kasih tau Adekku untuk tidak nakal, Yah”. Ayahnya menjawab dengan lembut, “Ayah akan melakukannya, Nak. Sampai jumpa, Tim, Anak Ayah yang pemberani”. Tidak kuat lagi menahan tangisannya, Tim berkata, “Makasih, Ayah. Sampai jumpa”. Tim menutup panggilan itu. Tim menundukkan kepalanya, lalu menangis tersedu-sedu. Teman-teman dan kakak kelas yang melihat Tim begitu sedih, mereka berusaha menenangkan dan membujuknya. Bahkan, para guru sampai menawarkan pelukan agar Tim bisa kembali tenang.