Setelah memasuki portal itu, mereka berada di hutan tempat mereka dikejar oleh tentara dari Tiongkok. Namun sekarang, keadaannya lebih tenang.Mereka beristirahat di dekat pohon-pohon yang rindang dan sejuk. Berbeda dengan hutan sebelumnya yang memberikan kesan suram, disini mereka merasakan kesan cerah. Setelah lama beristirahat, Tim mengajak kepada teman-temannya untuk melanjutkan perjalanan. Untung saja, mereka masih mengingat jalan mereka memasuki hutan tersebut, sehingga mereka dapat keluar dari hutan tersebut tanpa tersesat.
Tim dan kawan-kawannya terkejut ketika mereka berada di halaman parkiran belakang gedung kosong. Suasana saat itu benar-benar ramai oleh mobil-mobil yang diparkir di halaman itu, seperti biasanya. “Apakah kita udah pulang?”, tanya Hilman sambil menengok halaman parkiran itu. “Mungkin saja. Tapi, kita jangan mengambil kesimpulan terlalu cepat”, kata Tim. Mereka memutuskan untuk keluar dari area gedung yang di dunia paralel sebelumnya adalah gedung kosong. Kini, mereka berada di trotoar di samping jalan bundaran. Di tengah bundaran itu, terdapat patung keluarga yang utuh, berbeda ketika mereka berada di dunia paralel Perang Dunia III.
Meskipun keadaannya sama dengan dunia mereka tinggal, tapi dunia ini berbeda. Meskipun banyak orang berlalu-lalang, kebanyakan mereka menggunakan sarung tangan. Bahkan, orang yang berolahragapun juga memakai sarung tangan. Tim dan kawan-kawan merasa janggal. Dalam hati mereka bertanya-tanya, dimana mereka berada? Kenapa semuanya memakai sarung tangan?
Beberapa lama kemudian, ketika mereka masih melihat ke sekeliling mereka, lewatlah seorang pemuda yang sedang jogging. Hanya dia yang sama sekali tidak mengenakan sarung tangan. Pemuda itu mengenakan baju ketekan berwarna oranye kekuningan, celana hitam pendek. Dia memiliki rambut rapi, hidung mancung, dan mata berwarna cokelat kehitaman. Awalnya, dia jogging dengan santai. Tiba-tiba, pemuda itu langsung jatuh pingsan ketika sedang jogging. Tim dan kawan-kawan kaget.
“Bang, kenapa bang?”, tanya Dubert sambil berlari ke arah pemuda itu. Keadaan pemuda itu sangat berbeda daripada sebelumnya. Jika sebelumnya terlihat segar bugar, kini kulitnya berubah menjadi biru kehitaman, dangan bibir yang merah pucat. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak bisa seolah-olah mendadak menjadi bisu.
Baru saja Tim hendak memegang pundak pemuda itu, salah seorang yang sedang menaiki motor menepi ke trotoar, lalu berteriak, “HOI. JANGAN SENTUH DIA. NANTI KALIAN CELAKA!”, teriaknya. Tim dan kawan-kawan kaget sekaligus bingung, celaka apa yang dimaksud oleh pengemudi itu? Beberapa lama kemudian, terdengar teriakan kesakitan dari pemuda itu. Tidak lama kemudian, kulitnya yang tadinya biru, mulai mencair. Tim mengira itu adalah keringat dingin, tapi Tim salah. Tidak hanya kulitnya, rambutnya, matanya, mulutnya, kukunya, juga ikut mencair. Tidak lama kemudian, pemuda itu berubah menjadi air yang membasahi trotoar sekitarnya.