Journey Of Life

sulis fatlani
Chapter #1

1.Rindu

1.Rindu

 

“Ketika kita tidak menemukan bahu untuk kita bersandar, maka ingatlah masih ada Allah yang selalu berada di dekat kita dan yang akan selalu mendengarkan setiap keluh kesah hambanya.”

 

 

 

Bulan bersinar indah di langit bersama ribuan bintang. Angin malam menglilingi tubuh, berusaha menembus pori-pori. Kemarin dan kini, hanya kesenyapan yang hadir. Tapi entah apa yang akan hadir di esok hari. Mungkin kita hanya bisa menebak, menebak dan menebak untuk hari esok. Mustahil untuk bisa menciptakan hari esok. Begitu pula dengan pria yang saat ini hanya bisa pasrah pada keadaan, dan akan terus hanya bisa berhayal, berhayal dan, berhayal. Karna entah usaha mana yang akan mengubah garis takdirnya.

Shariz, bisa di sebut pria dingin kecuali dengan teman-temannya. Yang mana kehidupannya selalu di penuhi oleh kesenyapan di balik keramaian. Iya, mungkin mereka tidak tahu menahu tentang dirinya, karna yang mereka tahu hanya keramaian yang mengelilinginya, tanpa melihat kesunyian yang ada di baliknya. Kini waktu sudah menjelang pagi, terdengar suara bising deruan motor yang saling bersahut-sahutan memekakkan telinga pendengarnya. Seorang wanita seksi bediri di tengah-tengah antara dua motor dengan mengangkat sebelah tangannya yang sedang memegang sebuah kain putih kotak-kotak hitam.

“Satu, dua, pritttt.....” Teriak perempuan tersebut lalu meniup pluitnya dengan sambil menjatuhkan kain tersebut.

BRUMMM

BRUMMM

Suara deruan motor kini lebih bising dari sebelumnya. Kedua motor tersebut seketika melaju kencang meninggalkan area start. Salah satu peengguna motor tersebut melaju dengan kecepatan ekstra sehingga bisa meninggalkan pengguna motor lainnya. Berbeda halnya dengan pengguna motor lainnya, ia melajukan motornya dengan kecepatan yang lebih rendah dari motor yang pertama.

Dengan bangga pengguna motor yang pertama mulai tertawa meremehkan melihat motor yang kedua alias Shariz yang tertinggal jauh di belakang dan mulai sedikit mengurangi kecepatan motornya. Di depan sana sudah terdengar jelas teriakan-teriakan para penonton yang menyemangati idolanya masing-masing. Afata, yang tak lain pengguna motor pertama masih dalam mengurangi kecepatannya dan mulai banyak tingkah membanggakan diri bahwa dirinya memang akan benar-benar menang.

Tiba-tiba seseorang memotong jalan Afata. Afata yang sedang dalam keadaan tidak siap, ia pun sedikit oleng karena di salip secara tiba-tiba. Dengan refleks ia langsung menyeimbangkan motornya, Afata geram dengan kemunculan Shariz yang tiba-tiba dan langsung menancapkan gas dengan ekstra. Sorak meriah semakin menggemuruh di sepanjang jalan.

“Woo... Shariz.....” Teriak penonton menggemuruh.

“Afata... Cepet kalahin Shariz... Jangan sampe dia menang...” Teriak Sandi sohib Afata.

“Shariz, Shariz, Shariz.” Para penonton menyoraki Shariz memberi semangat.

Afata semakin geram dan terus dan menambah kecepatan dan hampir mendahului Shariz, tapi usaha Afata kurang cepat dari usaha Shariz, yang alhasil Shariz mencapai garis finish dua detik lebih dulu dari Afata. Afata menggeram kesal dan menghentikan motornya lalu menghampiri Shariz yang sudah turun dari motornya dan langsung di lingkari oleh teman-temannya.

“Hebat lo Sha. Lo emang nomor satu di antara mereka yang selalu nantangin, gue bangga deh punya atasan kek elu, bener nggak bro?” Ucap Rizky anggota lingkaran Shariz. Shariz hanya diam menyimak setiap kalimat-kalimat yang teman-temannya lontarkan kepadanya dan membalas dengan senyuman khasnya.

“Eh-eh, noh liat, diem-diem dia ke sini.” Ucap Zimar teman Shariz menghentikan pembicaraan mereka sambil menunjuk dengan isyarat ke arah Afata yang sedang berjalan menghampiri mereka.

“Eh, Instruksi dari sang panglima.” Teriak Rizky menginstruksikan dengan nada ala-ala panglima kerajaan yang bertujuan untuk mengejek Afata.

“Raja tak berkuasa dan tak bertahta datang. Harap semuanya membuka barisan...” Lanjut Rizky masih dengan nada ala-ala panglima kerajaan.

HAHAHA....

HAHAHA....

Tawa teman-teman Shariz pecah mendengar instruksi tersebut dan membuka barisan untuk mempermudah jalan Afata.

“Wah, wah, wah, mo apa tuh si bos kesitu, mo cari mati apa?” Celetuk anak buah Afata dari arah seberang.

“Udah, liat ajah.” Jawab Sandi mengabaikan.

Afata geram mendengar tawa teman-teman Shariz dan semakin mengepalkan tinjunya kuat-kuat seperti yang sudah siap untuk meninju orang.

“Bro-bro liat noh, raja dah siap-siap mo ngamuk tuh.” Celetuk Vian yang mana semakin memicu tawa teman-teman Shariz.

Kini Afata sudah benar-benar ada di hadapan Shariz dengan masih meninggikan egonya.

“Selamat! Kali ini, mungkin keberuntungan berpihak ke elo. Tapi liat ajah nanti bakal ada balesan dari gue, karna lo udah berani-beraninya motong jalan gue.” Celetuk Afata dengan gaya khasnya yang songong.

“Idih, motong jalan aja di permasalahin, mana ada balesannya lagi.” Jawab Azki sedikit kesal dengan perkataan Afata.

“Namanya juga balapan, ya pasti ada istilah saling motong-memotong jalanlah.” Sahut Vian dengan santai.

“Eh-eh, bentar, motong jalan ajah udah ada balesannya, apalagi kalo kita motong urat nadinya, kira-kira bakal ada balesannya lagi nggak yah?” Sahut Rizky dengan pura-pura berfikir keras.

“Lo gimana sih, manusia kalo di potong urat nadinya ya pasti bakal eekhhh....” Jawab Azki sambil mencekik leher sendiri dan menjulurkan lidahnya. ”Ya pasti nggak bakal bisa baleslah.” Lanjutnya lagi yang langsung di sambut dengan tawa teman-temannya, termasuk Shariz juga yang ikut terbawa oleh suasana.

Rasa geram Afata semakin memuncak, wajahnya berubah merah padam dengan kedua tangan yang terkepal kuat namun tidak mampu bertindak karena saat ini dia sedang sendiri.

“Udah pergi sana, mending lo pergi ajah deh, dari pada di sini kita terus-terusan ngetawain elo.” Kata Zimar mengusir Afata.

“Iyah nih perut gue juga udah sakit ngetawain elo mulu.” Lanjut Rizky sambil memegang perutnya yang sakit.

“Terus juga noh kasian liat tangan lo udah nggak kuat mo nonjok orang kan? Udah pergi-pergi, tonjok ajah noh sohib-sohib elo.” Kata Azki dengan menunjuk tangan Afata yang sudah terkepal kuat-kuat.

“Awas ajah lo, tunggu pembalesan dari gue.” Ujar Afata dengan penuh ambisi.

Lihat selengkapnya