Journey Of Life

sulis fatlani
Chapter #6

6.Pintu pertemanan

6.Pintu pertemanan

“Bukti tak ada seorang pun yang di takdirkan hidup sendiri adalah dengan hadirnya seorang teman, dan ketika kita telah memiliki teman sejati maka dari situlah kita mendapatkan harta yang paling berharga yang kita miliki.”




Hari minggu siang hujan kembali mengguyur kota New York yang indah. Shariz sedang berdiam menunggu hujan reda di depan toko perbelanjaan yang dekat dengan rumah sakit. Awalnya Shariz sedang membeli kebutuhan untuk di apartemennya, tapi ketika Shariz hendak pulang hujan mencegahnya, dan menyuruhnya untuk berhenti sejenak. Shariz berdiri di depan toko perbelajaan sambil menikmati indahnya rahmat yang di turunkan oleh Allah. Mata Shariz menjelajahi kota New York yang sedang di guyur hujan. Mata Shariz berhenti menjelajahi pandangan kota ketika iris matanya menangkap seseorang yang ia kenal sedang berjalan di bawah hujan turun tanpa memakai payung. Shariz berdecik pelan karena kesal melihat tingkah laku seseorang itu yang ke dua kalinya. Shariz terus melihatnya ke arahnya dari kejauhan dan Shariz melihat sedikit keanehan dari gerak-gerik seseorang itu. Dan.

Brug.

Seseorang itu jatuh pingsan di bawah hujan, dengan refleks Shariz berlari menghampiri seseorang tersebut.

"Alyda." Ucapnya beberapa kali berusaha membangunkan.

Namun Alyda tak kunjung sadar, dengan terpaksa Shariz membopong Alyda untuk di bawa ke rumah sakit terdekat. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, seketika Shariz menjadi pusat perhatian semua orang. Tapi Shariz menganggap mereka semua sebagai angin yang sedang melintas, Shariz terus berjalan menuju ke arah tujuannya. Ketika Shariz memasuki rumah sakit salah seorang perawat melihatnya dan langsung Shariz di sodorkan brangkar untuk Alyda oleh perawat tersebut. Shariz meletakkan Alyda di brangkar dan berjalan mengikuti perawat itu membawa Alyda. Alyda di masukkan ke dalam ruangan dan seorang perawat kembali keluar.

"Sorry, take care of the administration first." Kata perawat tersebut kepada Shariz.

Shariz pergi menuju tempat administrasi. Ketika sudah sampai di depan tempat administrasi Shariz mengurus semuanya dan menyerahkan ATMnya untuk membayar tagihan. Shariz mengeluarkan handphonenya hendak menelpon Nabil dengan sambil menunggu administrasi selesai. Shariz mencari nama Nabil dalam kontak handphonenya, Shariz menepuk jidat karena lupa.

"Astaghfirullah." Ucap Shariz pasrah yang teringat kalau dia belum mempunyai nomor Nabil.

Administrasi selesai, Shariz berjalan kembali menuju ruangan Alyda sedang di rawat. Dengan terpaksa Shariz menunggu Alyda sampai kembali sadar seorang diri. Shariz terus memperhatikan Alyda dari kaca pintu dan tak sengaja mata Shariz melihat pergerakan tangan Alyda, dengan segera Shariz masuk untuk melihat kondisi Alyda. Kini baju yang Alyda kenakan sudah berbeda dari baju yang sebelumnya. Di sisi lain Alyda membuka matanya, Alyda mengedarkan matanya melihat ke sekeliling ruangan, Alyda bingung kenapa dia sedang berada di rumah sakit. Dengan tak sengaja matanya menangkap sesosok Shariz yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Alyda berusaha bangun dari posisi tidurannya karena merasa tak nyaman untuk selalu tiduran, namun kepala Alyda terasa berat untuk di angkat dan rasa denyutan di kepalanya melumpuhkan pergerakan.

"Aw..." Ringis Alyda terjatuh dari pergerakannya.

"Udah kalo masih belum mampu nggak usah di paksain." Kata Shariz yang melihat pergerakan Alyda.

Shariz berjalan mendekati sofa yang tersedia di samping brangkar tempat tidur Alyda.

"Eh, Alyda gue mau ngasih komentar nih, tapi komentar baik sih..." Kata Shariz mendahului ceramahnya dengan nada sedikit menyinggung.

"Tadi drama lo bagus banget tahu. Gue mau tahu dong siapa pengarangnya. Elo? Keren banget sumpah dramanya." Kata Shariz pura-pura terkesan.

Alyda mengerutkan kening bingung dengan maksud ucapan Shariz, namun Alyda masih tetap diam tak menjawab.

"Pertama elo tuh jalan di trotoar sambil hujan-hujan, terus nggak lama dari situ elo pingsan, eh gue kira drama cuman sampe itu doang, ternyata masih ada pemeran tambahan yang tiba-tiba masuk terus nolongin elo, buat bawa lo ke rumah sakit." Jelas Shariz dengan rasa kesal yang bersarang dalam hatinya.

"Hah? Aku pingsan?" Tanya Alyda polos.

"Iya Alyda, elo tadi pingsan, nih gue juga mau ngasih tahu satu hal lagi, buat ke depannya kalo elo mau ngedrama mendingan nggak usah bawa-bawa orang lain deh, bikin ribet orang lain tahu. Kalo mau ngedrama yaudah sendiri aja nggak usah bawa-bawa orang lain."

"Kayaknya kalo gue nggak ada di situ, sampe elo bangun lagi juga masih tiduran di trotoar. Kayak orang jalanan." Lanjut Shariz mengakhiri ucapannya kesal.

Alyda terkejut dengan ucapan terakhir yang Shariz lontarkan untuk dirinya. Alyda langsung berbalik arah jadi membelakangi Shariz. Shariz diam karena merasa jengkel dengan tingkah laku Alyda, begitu pun dengan Alyda yang membelakangi Shariz sedang diam tak mengeluarkan suara sedikit pun. Shariz merasa ada sesuatu yang mengganjal karena Alyda tak bersuara sedikit pun.

"Alyda." Shariz memanggil Alyda beberapa kali.

Namun tak ada satu sautan yang di jawab oleh Alyda. Fikiran Shariz mulai campur aduk karena khawatir dan langsung berdiri mendekati Alyda yang sedang membelakanginya. Shariz berjalan ke arah depan Alyda, dengan sangat terkejut Shariz ketika melihat Alyda yang sedang menahan tangisan dengan di barengi menetesnya darah segar yang keluar dari hidung Alyda.

"Astaghfirullah, Alyda." Ucap Shariz refleks karena panik.

"Nggak usah panik. Tolong ambilkan tissu." Jawab Alyda menenangkan.

Shariz mengambilkan tissu yang berada lebih dekat dengan dirinya dan memberikannya kepada Alyda. Shariz hendak menekan tombol alarm untuk memanggil dokter ketika keadaan darurat, namun Alyda menghentikannya.

"Tidak perlu, aku baik-baik aja kok, ini memang sudah terbiasa terjadi jika aku terlalu kecapean dan banyak pikiran." Katanya lagi sambil menyeka darah yang mengalir.

Shariz menarik kursi yang ada di dekatnya, lalu Shariz duduk di depan Alyda.

"Aku minta maaf karna sudah memaharahimu tiba-tiba." Kata Shariz yang sudah mengontrol cara bicaranya karena merasa bersalah.

"Tak apa, kak Nabil juga sering memarahiku karena kecerobohanku." Jawab Alyda enteng.

"Oh, apa kamu ingat nomor telpon Nabil? Aku awalnya mau menelpon dia untuk datang ke sini, sayangnya aku belum memiliki nomor telpon dia." Tanya Shariz.

Lihat selengkapnya