Air laut yang harusnya hangat berubah menjadi es karena badai yang dahsyat, menusuk tubuhku. Rasanya ombak seperti melawanku, melempar-lemparkan aku bolak-balik di antara mereka seolah-olah mereka bertekad membagiku dengan mencabik-cabik tubuhku. Aku tak tahu lagi arah menuju permukaan.
Air yang bergolak itu hitam pekat di segala arah; tidak ada cahaya setitik pun yang bisa membimbingku ke atas. Gravitasi sangat kuat bila dibandingkan udara, tapi itu belum ada apa-apanya dibandingkan dengan arus ombak. Arus yang begitu kuat membuatku berputar-putar terus seperti boneka.
Aku berusaha keras menahan napas, untuk mempertahankan persediaan oksigen yang masih tersisa.
Sedihnya, aku tersadar bahwa aku akan tenggelam. Aku sedang tenggelam.
Ketika aku jatuh di bawah ombak aku berharap untuk kembali, dan aku lakukan. Tetapi setiap kesempatan untuk bernapas menjadi terpisah lebih jauh dari napas yang kuhirup sebelumnya. Sebelum aku pergi ke dunia bawah laut di detik terakhir dalam hidupku, aku tahu aku telah dicium oleh matahari untuk terakhir kalinya. Arus membawaku turun dan aku berusaha keras untuk melihat cahaya yang meredup di atas.
Tidak ada apa-apa kecuali kegelapan. Tidak ada tempat ke mana aku bisa berenang.
Air yang dingin membuat lengan dan kakiku mati rasa, aku tak lagi merasakan pukulan dari ombak seperti sebelumnya.
Kepalaku terasa pusing, berpusar-pusar tidak berdaya dalam air.
Aku tidak ingin mati. Kupaksa kedua lenganku untuk terus menggapai-gapai, kakiku untuk menendang lebih kuat, tapi tidak ada gunanya.
Melihat ini, aku merasa kehilangan semangat untuk berjuang. Kepalaku terasa ringan, otot lenganku gagal berfungsi karena kelelahan, dan ini membuatku sadar bahwa kematian sudah dekat.
Ini kematian yang lebih mudah daripada yang pernah kubayangkan. Dulu aku membayangkan kematian adalah hal yang menyeramkan dan sangat menyiksa, tapi ternyata tidak seperti itu. Aku sempat membayangkan diriku akan mati karena harus berjuang melawan kanker yang ganas, atau terjatuh dari gedung yang tinggi. Tak pernah terpikirkan olehku bahwa hidupku akan berakhir seperti ini.
Telingaku dibanjiri air yang membekukan, membuatku tak mampu mendengar apa pun lagi.
Paru-paruku seperti terbakar karena membutuhkan asupan udara dan kakiku kejang karena air yang sedingin es, membuatku semakin takut akan datangnya kematian.
Kepalaku berdebar, setiap sel di tubuhku berteriak minta oksigen. Aku mencoba bergerak sekali lagi sampai aku merasa kepalaku akan meledak, aku harus mengambil napas. Untuk beberapa alasan itu tidak sakit seperti yang aku pikir akan terjadi, aku tidak takut lagi, entah mengapa untuk alasan yang tidak jelas aku malah merasa damai.
Aku mulai jatuh. Aku jatuh semakin jauh ke dalam, seolah-olah tertelan oleh kegelapan.