“AAA!” teriakku panik, lalu mencoba untuk bangkit berdiri.
Apa yang telah terjadi?
Aku menyipitkan mata dan dari kejauhan, aku dapat melihat sebuah kapal yang terhimpit antar dua batu yang sangat besar.
Kapal itu tergeletak seperti paus terdampar. Tonasenya sendiri membawanya ke tepi pasir yang telah membunuh kapal itu. Ia tergeletak di satu sisi pada fondasinya yang bergeser dan logam bercat biru yang tadinya cerah sekarang berwarna oranye dengan karat tebal yang menggelegak.
Aku ingat di kapal tersebut terdapat banyak sekali orang, lalu ke mana mereka sekarang? Apa mereka semua selamat?
Lalu di mana aku? Ini bukanlah tempat yang kulihat di buku ‘Lonely Planet’. Terlihat sangat asing bagiku.
Aku tidak mampu mengingat dengan jelas apa yang terjadi semalam. Hanya saja, sangat disayangkan aku tidak bisa sampai ke tujuanku dengan selamat. Padahal aku sudah mengharapkan dapat menikmati liburanku dengan tenang. Untuk seorang computer engineer sepertiku, jarang sekali bisa pergi berlibur seperti ini. Lalu….tempat apa ini?
Mataku menyapu ke sekelilingku, pasirnya berwarna keemasan dengan kehangatan kenyamanan yang pas, disandingkan dengan langit yang dipenuhi sinar matahari.
Kelopak mataku terasa geli saat angin membelaiku dengan lembut.
Sambil mengerutkan jari-jari kaki, aku merasakan kelembutan pasir, masih lembap karena ombak yang surut. Aku menggeliat ketika sebuah getaran mengaliri tulang punggung dan mataku terbuka lebar.
Pasir bercahaya di bawah matahari, pantai memudar menjadi emas cair, hidup dalam cahaya cemerlang. Bibir pucatku melengkung ke atas.
Aku melimpahkan pandangan ke cakrawala yang jauh, rona sinar matahari yang meleleh ke langit dan lautan seperti lukisan ilahi. Melalui mata yang menyipit, aku melihat setiap gelombang saling tumpang tindih, mengirimkan puncak-puncak putih yang menggelegak turun, menutupi pantai dengan air pudar yang transparan.
Tempat ini bisa di mana saja, pikirku. Aku tersesat. Aku terdampar.
Tidak ada teknologi, tidak ada kendaraan, hanya alam ...
Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak memiliki apa pun, hanya pakaian yang masih melekat di tubuhku. Aku memeriksa pakaian yang kupakai. Warna hijau muda dari kaosku sudah memudar karena kotor dan lembab yang disebabkan oleh air laut. Celanaku yang putih nyaris berubah warna menjadi coklat tua.
Kakiku sekarang telanjang di atas pasir putih yang lembut, berwarna kecokelatan karena kotor.
Sandal jepit yang kupakai kemarin sepertinya telah hanyut terbawa ombak. Sayang sekali, padahal itu ada sandal jepit kesayanganku.
Setelah dipikir-pikir, keadaanku parah sekali. Tapi aku yakin tidak ada toko pakaian di sini.
Apa yang harus kulakukan?
Mungkin aku bisa menelpon….ah ponsel!
Aku meraba-raba celanaku lalu meraba-raba pasir, namun hasilnya nihil.
Semua barangku telah hilang.
Lagipula, apa gunanya jika aku memiliki ponsel? Aku yakin tidak ada sinyal di sini. Wifi juga pasti tidak ada.
Seketika, pandanganku terpaku pada sesuatu yang berkilau di tepi pantai.
Aku menyipitkan mata. Ah, sebuah kapak!
Alat itu terbuat dari logam, bermata yang diikat pada sebuah tangkai, dari kayu, dengan pisau tajam di satu sisi dan martil di sisi lain.
Sepertinya aku harus mencari benda apa pun yang dapat membantuku agar bisa bertahan hidup di pulau ini.
Kapak seperti ini sangat berguna untuk memotong dan membelah kayu, dan mungkin bisa melindungiku dari serangan binatang buas.
Ah, tapi aku tidak perlu memikirkan mengenai binatang buas, lebih baik aku memikirkan bagaimana aku bisa bertahan hidup di pulau ini.
Tiba-tiba tenggorokkan serta mulutku terasa kering, bahkan bibirku mulai pecah-pecah.
Udara di sini sangat panas dan tubuhku mulai berkeringat.
Lalu aku dihantam oleh pemikiran yang buruk sekali; bagaimana jika sumber air yang bisa diminum hanyalah di daerah yang penuh dengan binatang buas?
Aku meringis saat membayangkannya.