Kubuka mataku perlahan-lahan, mendesah melihat pemandangan indah di pagi hari.
Senja mencair, matahari terbit yang megah, cahaya oranye merah merembes di cakrawala seolah-olah cahaya itu sendiri dituangkan dari matahari yang meleleh. Sinar yang kuat membanjiri padang pasir, bersinar dari setiap sisi.
Mataku menyapu ke sekelilingku, dan aku terkejut melihat apa yang ada di hadapanku.
Hidungku langsung mengernyit karena jijik. Ini bukan hanya berantakan, ini adalah zona bencana. Ini tampak seperti angin topan mabuk yang tiba-tiba datang dan menari-nari lalu detik berikutnya menghilang. Dengan gerakan jijik, hidungku berkerut dan aku menarik kepalaku ke belakang, lalu tersedak.
Di sekitarku terdapat beberapa tumpukan kelapa yang abis diminum – oleh entah siapa- dan meninggalkan bau tidak sedap.
Apa yang terjadi di sini? Seolah-olah telah ada pesta besar yang sinting dan aku tidak diundang.
Kenapa pula kelapa-kelapa yang berhasil aku kumpulkan dengan susah payah malah berserakan seperti ini?
Sambil menahan rasa jijik, aku mengambil batok-batok kelapa tersebut lalu membakarnya di api unggun.
Setidaknya dengan begini, tempat ini kembali bersih.
Aku menjadi bingung, apa atau siapa yang telah menyantap kelapa milikku?
Tiba-tiba pemikiran buruk menghantamku. Apa ini perbuatan binatang buas?
Rasa takut itu menimpa diriku seperti bantal menutupi mulut dan hidungku.
Cukup udara yang masuk, membiarkan tubuhku tetap berfungsi, tetapi semuanya terasa melumpuhkan.
Telapak tanganku tiba-tiba berkeringat dan adrenalin mengalir melalui sistem tubuhku, mematikan kemampuanku untuk berpikir secara logis.
Tidak, aku harus tetap tenang.
Satu-satunya harapan agar aku bisa bertahan hidup adalah jika aku tetap tenang.
Setidaknya, tempat ini sudah tidak terlihat menjijikan lagi.
Setelah kupikir lagi, sebenarnya yang paling menjijikan adalah diriku.
Sejak kemarin, aku belum mandi sama sekali. Aroma tidak sedap mulai tercium oleh hidungku, dan aku tahu pasti itu berasal dari tubuhku yang penuh kotoran ini.
Mungkin sebaiknya aku pergi berenang di laut, semoga saja aku tidak membunuh ikan-ikan yang ada dengan aroma tubuhku yang tidak sedap.
Jujur saja, dari dulu aku ingin sekali memiliki rumah dengan pemandangan langsung ke laut, dan yah, untuk sekarang aku memang memiliki ‘tempat tinggal’ di dekat lautan yang luas.
Mataku menyapu ke arah lautan yang seperti memanggilku.
Terlihat menggoda. Menggelitik setiap sarafku untuk menyelam ke lautan yang luas membuat diriku bersemangat. Jantungku memompa dengan penuh gairah pada irama yang menampar ujung hidungku.
Aku berjalan bukan dengan penglihatan tetapi oleh jejak cinta yang dijepitkan dengan aroma cairan asin yang mengalir di pipiku. Aku merasa seolah-olah ombak sedang melambai padaku, mengajakku untuk bermain dengannya.