Terdampar

Bla
Chapter #8

Teman Baru

Aku mengambil beberapa langkah menjauh dari pohon, dapat kudengar si kera jahat itu mendesis ke arahku.

Apa dia marah karena aku mengambil patung ini?

Mataku kembali melirik ke si orangutan, dan dia malah tertidur dengan lelap, benar-benar melupakan kehadiranku.

Jika orangutan itu tidak marah, seharusnya tidak masalah jika aku mengambil patung ini. Lagipula, apa gunanya patung ini bagi mereka? Mana mungkin mereka memahami seni?

Atau….?

Ah, mengapa aku berpikiran konyol seperti ini lagi?

Dengan cepat, aku bergegas meninggalkan pohon besar itu dan kembali ke dalam hutan.

Setiap langkah terasa berat dengan adanya patung ini yang harus aku bawa, napasku tersengal dan kakiku kembali berdenyut.

Saat aku yakin aku sudah cukup jauh dari mereka, aku menghentikan langkahku untuk mengatur napas lalu tangan kiriku meraih peta yang kuselipkan di celanaku.

Meskipun lecek, aku sudah memahami arah peta ini. Dengan mantap, aku berjalan menelusuri hutan, yakin akan arah yang aku tuju.

Pohon-pohon terselubung dalam kabut paling ringan, batang-batangnya berwarna cokelat kecoklatan dengan retakan kulit yang menggerogoti kulit kayu. Ketika mataku bergerak ke tepi hutan, mereka menjadi siluet terhadap selimut oranye, seolah-olah hanya sore hari di mana aku berdiri, seolah-olah aku dikelilingi oleh sinar mentari yang nyaris terbenam.

Harus kuakui, pemandangan alam di hutan ini sungguh menakjubkan.

Di hutan ini, serasa berisi dunia indah berwarna cokelat, nyaman di bawah kanopi hijau, serta ada rasa semangat yang seolah-olah menyambut. Seolah-olah ada sesuatu dalam diriku yang dapat dirasakan pohon-pohon itu dan mereka mengoceh padaku, mungkin hanya perasaanku saja.

Ada kelembutan di dasar hutan, hingga lumut yang menopang dan muncul kembali. Hutan ini bagaikan nyanyian burung, cahayanya memancarkan kebahagiaan, berjalan melalui hutan ini adalah sukacita, sifat alamiah ini memberiku ketenangan. Dan pada saat-saat itu, keindahan yang bagaikan lukisan, aku merasa damai.

Tepat saat matahari telah terbenam sepenuhnya, aku telah kembali ke pantai tempat aku terdampar.

Rasanya waktu berjalan lebih cepat saat aku berjalan kembali kemari daripada saat aku berjalan menelusuri hutan tadi siang.

Baiklah, saatnya meletakkan patung ini. Aku ingin meletakannya di tempat yang mudah dijangkau.

Mataku memindai ke sekeliling lalu menemukan dua buah batu besar yang saling bertumpukan, tidak jauh dariku.

Sempurna.

Dengan cepat, aku menghampirinya lalu meletakkan patung misterius itu di atasnya.

“Bagaimana? Apa ini bagus untukmu, patung?” tanyaku sambil mengamati patung itu. Kedua matanya yang terbuat dari berlian membuatnya terlihat lebih hidup. Namun, bagiku dia terlihat menyeramkan sekali dengan kepala berwujud serigala dan tubuh berwujud kera. Maksudku, apa artinya ini?

Apa mungkin patung ini adalah semacam dewa yang disembah?

“Hmm, kau tahu, patung? Sekarang kau berada di wilayahku, jadi aku yang bicara dan kau yang mendengarkan, ya!” perintahku.

Ah, apa yang kupikirkan? Mana mungkin patung ini bisa memahamiku?

Pertanyaan yang lebih sederhana: mana mungkin patung ini hidup?

Ini hanyalah benda mati yang disembah oleh penduduk asli pulau ini, mungkin.

“Apa boleh aku memanggilmu bebeb? Aku sangat kesepian di sini, dan sepertinya kita bisa berteman, beb,” bisikku lagi.

Detik berikutnya, aku baru menyadari apa yang baru saja kukatakan.

Lihat selengkapnya