Ketika aku bangun dari tidur yang nyenyak, pertama-tama aku menyadari sejuknya udara dan aromanya yang harum. Pasir terasa seperti berada di atas tanah dan bebatuan.
Pakaianku terasa lembab seperti bunga di embun fajar, rasanya ingin sekali membuka semua pakaianku tapi aku tidak bisa melakukannya.
Akan sangat memalukan jika aku berkeliaran tanpa menggunakan sehelai pakaian pun. Lebih baik aku tetap memakai ini seadanya, berharap nanti aku bisa menemukan sesuatu yang nyaman untuk dipakai.
Aku setengah bertanya-tanya apakah aku masih bermimpi ketika aku duduk untuk menerima cahaya yang menembus celah di kanopi daun kelapa di atas.
Sekarang aku bangun, mungkin lebih sepenuhnya terjaga daripada sebelumnya.
Sejauh yang aku tahu, aku sendirian dengan burung-burung camar yang berteriak-teriak di kejauhan, tidak ada tanda-tanda mahkluk hidup lain.
Apa kemarin hanya mimpi?
Aku berpaling ke kiri.
“UAA!!” Muncullah sebuah wajah sambil menyeringai yang nyaris membuat jantungku melompat keluar dari tubuhku.
Otakku tergagap sesaat dan mataku menerima lebih banyak cahaya dari yang kuharapkan, setiap bagian diriku berhenti sementara pikiranku menyusul.
Wajah ini….ternyata Adel.
Ini berarti kemarin bukanlah mimpi. Orangutan ini benar-benar datang dan tinggal bersamaku.
Aku mencoba mengingat kembali apa yang terjadi kemarin…oh benar, dia menciumku. Lalu kami memetik beberapa buah pisang dan memanjat pohon kelapa. Dia membantuku mengumpulkan beberapa buah kelapa untuk makan malam lalu kami tertidur di bawah cahaya bulan yang indah, di samping api unggun.
Adel menyeringai padaku, seolah-olah ingin berkata, “Selamat pagi!”
Aku tertawa sambil mengelus bulunya yang lembut. “Kau ini lucu sekali.”
Setelah dipikir-pikir lagi, aku masih belum menemukan cara agar bisa keluar dari pulau ini. Walaupun aku telah menemukan seorang teman baru, tapi aku tetap ingin pulang ke rumah. Sebaiknya aku pergi menelusuri pulau ini, siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu yang menarik.
Mataku melirik ke arah bebeb, ah maksudku patung berkepala serigala itu. Mungkin aku juga harus mencari matanya yang hilang itu, dan jika aku berhasil menemukannya mungkin dapat memberiku beberapa petunjuk mengenai pulau ini.
Kuangkat kakiku yang terluka, melepaskan balutan daun pisang dan mengamatinya. Terlihat jauh lebih baik, sepertinya aku tidak memerlukan daun pisang ini lagi. Kuletakkan daun pisang itu lalu menarik napas dalam-dalam.
Detik berikutnya, aku bangkit dan meraih peta serta kompasku. Adel malah terlihat asyik menyantap buah pisang sambil menikmati pemandangan air laut di hadapannya.
“Adel, aku pergi dulu!” pamitku lalu pergi memasuki hutan.
Dengung serangga yang bersenandung memulai pagi hari itu dengan ceria. Perlahan, hutan menjadi hidup dengan lapisan suara bergema di udara pagi yang dingin. Katak kecil bersuara di bawah dedaunan besar dan lebar. Jaring-jaringnya dipenuhi dengan tetesan embun pagi yang lembut, berkilau di serpihan pertama sinar matahari.
Aku mendengar bisikan daun aspen kecil menari dalam angin sepoi-sepoi yang bermain-main dengan rambutku yang cokelat muda. Telingaku samar-samar mendengar suara-suara binatang hutan yang bergema di kejauhan, dan nyanyian burung yang manis. Aku menghirup napas dalam-dalam; aroma pinus bercampur angin.
Langkahku terhenti saat aku kembali ke tempat terdapatnya puing-puing pesawat. Semuanya masih seperti kemarin, tidak ada yang berubah.
Tanpa berpikir panjang, aku menghampiri sayap pesawat yang besar itu, lalu berjongkok sambil mengamati.
Tanganku memilah-milah selama mataku memindai ke sekeliling, berusaha mencari sesuatu yang berguna.
Sempat terpikirkan olehku untuk membuat sebuah perahu kecil dengan kayu-kayu yang ada, namun aku memerlukan peralatan lain seperti tali.
Apa mungkin aku bisa menemukan sesuatu seperti itu di sini?
Saat aku menyaring dan memilah-milah mataku terus mencari tali atau peralatan berguna yang bisa digunakan.
Aku bangkit dan menghampiri sisi lain sayap tersebut. Sesuatu yang berkilau menarik perhatianku.
“Apa ini?” tanyaku penasaran.