Saat kubuka mataku, aku seperti telah pulang kembali ke rumah.
Aneh, berada di sini lagi setelah sekian lama.
Bukankah aku seharusnya berada di pulau itu?
Apa yang sedang terjadi?
Berapa lama aku telah pergi dari rumah? Pasti sudah lama sekali.
Meskipun sudah lama sejak aku pergi, aku masih ingat segalanya tentang tempat ini; perkarangan bunga biru ditanam di halaman depan, denting lembut lonceng angin yang mengingatkanku pada sore hari di musim panas. Cat biru di tembok rumah telah memudar sejak aku melihatnya terakhir kali, tapi aku masih mengenalinya. Itu tampak seperti warna langit sebelum badai yang buruk.
Aku berjalan ke pintu, menyeret tubuhku yang masih mengira ini semua hanyalah mimpi. Aku mengangkat tangan untuk mengetuk, tetapi aku berhenti. Aku menarik napas dalam-dalam, dan memaksakan diri untuk mengetuk pintu.
Aku mendengar suara langkah seseorang berlari ke arah pintu. Dibukanya perlahan, dan wajah ibuku yang hangat dan penuh kasih sayang muncul. Aku memeluknya dengan erat, tiba-tiba tidak yakin mengapa aku bisa bertemu dengannya di depan rumahku.
Ibuku melepaskan pelukannya lalu secara perlahan dia memudar.
“Ibu?” panggilku.
Semuanya di sekitarku memudar, dan lambat laun aku kembali ke ruangan yang gelap itu.
Hampa.
Sendirian.
Dorongan ke tulang rusuk membuat aku tersentak bangun, mataku terbuka seperti dua sinar cahaya senter. Meskipun mataku terbuka, aku tidak bisa memikirkan alasannya; jantungku berdegup kencang, pikiran kosong.
Berapa lama aku pingsan? Aku sangat berharap itu tidak lama.
Kupaksa tubuhku untuk bangkit, rasanya seperti menarik beban beribu-ribu ton. Kuusap mataku yang muram lalu memandang sekitar.
Setidaknya, aku sudah merasa jauh lebih baik. Aneh sekali, mengapa ada botol berisi obat seperti itu di sini? Lalu mengapa bisa dengan begitu cepat menyembuhkan rasa sakitku?
Begitu banyak pertanyaan namun aku masih belum menemukan satu jawaban pun.
Seharusnya aku benar-benar bersyukur isi botol itu tidak beracun. Jika iya, maka tamatlah riwayatku.