Keesokan paginya, aku mandi di air danau yang menyegarkan -jauh lebih menyenangkan daripada mandi di air laut- lalu menyantap buah pisang yang besar sebagai sarapan.
Jika aku bisa membuka mulut lebih lebar, aku akan makan dalam satu gigitan. Aku menyantap seperempatnya dalam satu gigitan yang besar. Kemudian aku mengunyahnya dengan mulut terbuka, dan setiap kali aku mengunyah, aku menikmati manis serta lembutnya buah pisang itu di mulutku.
Saat masih di kota tempat aku tinggal, aku belum pernah menyantap pisang segar seperti ini. Semua pisang yang pernah kusantap selalu yang nyaris busuk, sehingga aku tidak pernah menikmati sesuatu seperti ini. Ibuku sangat menyukai buah pisang dan dia selalu mengeluh jika menemukan buah pisang yang sudah busuk di supermarket.
Aku yakin dia akan girang sekali jika melihat buah pisang di sini besar-besar dan manis.
Kubuka mulutku dan mengambil satu gigitan lagi.
Lalu aku menelan buah itu dan tanpa berhenti untuk bernapas, aku menggigitnya lagi hingga habis.
Kenikmatan ini, lalu ditambah dengan pemandangan indah, sungguh membuat diriku merasa damai. Keindahan alam yang diciptakan oleh Allah sungguh menakjubkan.
Setelah aku merasa kenyang, aku meraih petaku dan mempelajarinya.
Jika aku benar, maka seharusnya pantai tempat aku terdampar masih di sekitar sini.
Kuikuti arah peta dan kompas sambil berjalan menelusuri hutan.
Pohon-pohon di sekitarku menjulang tinggi di atas tanah. Matahari mengintip di balik pepohonan, menyinari sungai yang mengalir di dekatku.
Sungai itu melewati hutan yang luas dan buram. Airnya jernih, lebih gelap di bawah bayang-bayang dan lebih pucat dalam cahaya. Dibanding suara burung-burung yang menyambut hari baru, bisikan air yang lembut masih bisa terdengar, bagaikan lagu di pagi hari.
Semuanya terlihat tidak asing bagiku, dan aku tahu aku berada di jalan yang benar.
Sesampainya aku di pantai, aku merasa sangat puas dengan diriku sendiri yang semakin piawai menjelajahi hutan. Aku sudah mulai bisa mengenali daerah di sekitar sini, yakin tidak akan tersesat lagi.
Dengan cepat, aku berlari ke bebeb, mengambilnya lalu aku pun berjalan kembali ke dalam hutan. Aku ingin pergi ke arah utara dari pondok, entah mengapa aku penasaran dengan apa yang ada di sana.
Sambil menggendong patung itu di lengan kiri, aku kembali membaca peta dengan seksama.
Aku mengira aku tahu akan seperti apa rasanya menjelajahi hutan itu, aku telah melihat begitu banyak film dan membaca begitu banyak buku mengenai hutan, dan kukira akan sangat mudah dilakukan.
Namun ternyata aku salah. Jauh lebih sulit daripada yang ada di film.
Napasku di bawah kanopi padat seperti menghirup sup hangat yang terbuat dari bunga aromatik. Meskipun paru-paruku terus menghembuskan udara masuk dan keluar, itu lebih seperti tenggelam daripada bernapas untukku, udara di sini mulai menjadi panas.
Kelembapan itu begitu tebal membuatku berkeringat dan mengalir dengan hangat ke pakaianku yang sudah kotor.
Hutan seolah-olah memelukku, seperti sedang menguasai diriku. Daun-daun berjatuhan ke arahku, datang dan menghalangi gerakanku ke segala arah.
Kusingkirkan daun-daun tersebut dengan tangan kananku sambil mencengkram peta, lalu mataku tertuju pada fakta bahwa di mana-mana ada air, air di tanah dan air yang tertangkap di dedaunan sebesar sofa.
Apa semalam sempat hujan? Aku tertidur pulas sekali di dalam pondok hingga tidak menyadarinya. Meskipun baru beberapa hari, namun tidur tanpa alas di atas pasir itu sangatlah menyiksa. Aku benar-benar bersyukur akhirnya aku bisa tidur kembali di atas tempat tidur.
Meskipun tidak senyaman yang di rumah, setidaknya jauh lebih baik daripada tidur di atas pasir.
Karena kejadian ini pula, aku belajar untuk mensyukuri apa pun yang aku miliki dan tidak lagi mengeluh. Bahkan, aku mulai belajar untuk menghargai setiap detik dalam hidupku.