“Kalian berasal dari mana?” tanyaku, masih bingung dengan semua ini.
“Kami berasal dari kapal King,” jelas seorang pria berambut hitam yang terlihat seperti pemimpin kelompok kecil ini. Dia mungkin berusia sekitar tiga puluh lima tahun, tidak mungkin kurang.
Wajahnya sebagian besar terkubur oleh janggut hitam tebal yang menempel di kulitnya seperti sulur musim dingin yang dirusak. Dia memiliki tampilan pria yang pernah memiliki otot, lebar di punggung dan tebal di leher, namun sekarang menjadi kurus kering.
Tulang pipinya menonjol serta hidungnya mancung.
Kaosnya yang merah terlihat lusuh sekali, terdapat beberapa sobekan di sebelah kiri, dan celananya terkubur dalam pasir. Dia terlihat sangat mengenaskan.
“Oh, Alhamdulillah, ya Allah akhirnya kami selamat!” seru salah satu dari mereka –seorang wanita pendek. Dia langsung bersujud syukur di atas pasir putih, membuatku merinding.
“Aku juga berasal dari kapal itu,” ucapku datar. Ternyata mereka memiliki nasib yang sama denganku. Setidaknya, aku lega bahwa ada orang lain yang selamat selain diriku.
Si wanita pendek itu mendongak menatapku lalu bangkit sambil mendengus kesal.
Ekspresi wajah pria berjanggut itu jatuh lebih cepat daripada roti yang dikeluarkan dari oven terlalu cepat. Bibir bawahnya menjorok keluar ke pusaran air hujan es. “Ah, astaga, kukira kau datang untuk membantu kami.”
Aku mengangkat bahu. “Apa kalian sudah makan?” Mereka semua terlihat kurus sekali, seolah-olah tidak pernah makan selama hidupnya.
“Tentu saja. Si pak tua memberi kami makan,” jawab seorang wanita yang cantik. Dia memiliki jenis kecantikan yang bersahaja. Kulit hitamnya benar-benar sempurna. Aku ragu dia menggunakan masker wajah atau produk mahal. Rambutnya hitam lurus, mata gelap, bentuk tubuhnya pun sempurna. Bahkan dalam keadaan compang-camping, dia tetap terlihat bagaikan dewi.
Aku mulai mencerna apa yang dia katakan; pak tua? Apa itu berarti ada orang lain di sini?
“Apa dia ada di sini sekarang?” tanyaku penasaran.
“Apa KAU membawa makanan?” tanya si wanita pendek di sebelah si pria berjanggut. Dia lebih pendek dari rata-rata dan tentu saja lebih besar dari model catwalk, tetapi dalam keadaan compang-camping, dia menakjubkan. Sesuatu terpancar dari dalam yang membuatnya terlihat memukau. Dia memiliki warna rambut cokelat muda dan kulit putih pastel yang membuat bibirnya yang merah muda dan indah terlihat menonjol. Pipinya segar bagaikan tetesan air hujan dan dia mengenakan celana jeans hitam dan kemeja abu-abu.
“Maaf, aku tidak membawa makanan. Apa kelapa di pohon sebrang sana tidak enak?”
Dia menoleh ke arah pohon yang kutunjuk lalu kembali menatapku. “Oh, itu kelapa? Yah, terlalu tinggi buatku.”
Baiklah, terlihat cantik namun otaknya sekecil permen.
“Lagipula, aku yakin kau akan membawa kami pulang, kan? Lusa aku harus ikut arisan.”
“Mungkin aku bisa memulai Diet ala-ala Pulau ini, kau tahu? Yah, diet di mana kau hanya bisa memakan udara! Kau paham? Apa kau bisa melihat tulang rusukku yang menonjol?” ucap seorang gadis remaja dengan nada sarkastik.
Jujur saja, dia pun terlihat cantik. Rambut hitam sempurna yang terletak tepat di atas bahu dan mata cokelatnya yang bisa menelan galaksi. Kulitnya yang sempurna yang terlihat sangat rapuh namun begitu lembut dan jumlah bintik-bintik di hidungnya. Pipi warna mawar merah muda dan bulu mata lebih lebat dari siapa pun yang pernah aku lihat.
Dan tubuhnya ini menarik perhatianku, pinggang kecil yang disembunyikan di bawah tanktop putih dan pinggul melengkung yang begitu pas di celana jins birunya yang gelap. Dan harus kuakui, aku tidak bisa melihat tulang rusuk yang dia maksudkan.
Aku mengerutkan kening, tidak tahu harus menjawab apa.
“Maaf ya jika mereka bersikap kurang ramah padamu. Kau tahu, kami semua sangat tertekan berada di sini,” ucap seorang bocah laki-laki. Kulitnya bisa saja berwarna putih jika bukan karena semua bintik-bintik itu. Ada begitu banyak di wajahnya yang kecokelatan dengan bintik-bintik kecil di sana-sini, seperti ujung rerumputan yang berjuang untuk melalui daun musim gugur keemasan-coklat.
Rambutnya hitam legam sempurna, itu bisa saja membuatnya terlihat tampan seandainya dia tidak kurus kering seperti sekarang. T-shirt merah marunnya kecil, tetapi pada dirinya itu seperti kemeja kakaknya, menempel di tempat yang tidak seharusnya dan menggantung di tempat yang tidak seharusnya pula.
“Apa kalian sempat membuat sebuah perahu kecil atau semacamnya?” tanyaku lagi, mulai merasa jengkel.
“Ah, tidak, terlalu sulit.”
Aku mendesah. Tidak mengherankan bagiku jika mereka semua terlihat mengenaskan seperti ini. Mereka bahkan tidak melakukan apa pun!
“Siapa pemimpin kalian?” tanyaku lagi.
“Aku,” jawab si pria berjanggut. “Kurasa…ya! Aku yakin kau mengenalku.”
Banyak gaya, pikirku. Seharusnya dia memimpin kelompoknya untuk mencari cara agar bisa keluar dari sini.
Lagipula, aku tidak mengenalinya.
“Apa kalian satu keluarga?” tanyaku, mengabaikan si pria berjanggut itu.
Semuanya menggelengkan kepala.
“Tidak, tentu saja tidak!” seru si wanita pendek. “Aku ini seorang wanita yang sudah lajang sejak embrio, selama tiga puluh tahun! Bisakah kau membayangkan betapa tragisnya itu?”
Aku memutar bola mataku, ya aku bisa membayangkannya. Aku juga seorang wanita lajang sejak embrio dan aku malah sempat bergenit-genit dengan bebeb –ah si patung dan ciuman pertamaku adalah bersama seekor orangutan.
Tidak ada yang lebih buruk daripada itu.
“Aku juga pergi dengan kapal itu sendirian,” sahut si wanita berkulit gelap. “Suamiku pasti khawatir sekali sekarang.”
Si bocah gadis itu tiba-tiba mendesah. “Kalau aku berangkat bersama teman-temanku, tapi sepertinya mereka tidak selamat.”
“Aku juga,” sahut si bocah laki-laki.