“Apa yang kalian lakukan di sini? Ini rumahku!” bentakku kesal sambil menghampiri si pria berjanggut – yang baru kuketahui ternyata bernama Dimas.
“Tempat ini indah sekali, bukan?” seru si wanita pendek dengan matanya yang berbinar-binar.
“Betul! Aku tidak mau kembali ke pantai busuk itu,” sahut si bocah laki-laki.
“Tempat tidurmu juga empuk sekali!” seru si bocah gadis berambut pendek itu.
Jari-jariku berdenyut karena mengepalkan tinju terlalu keras, aku mengertakkan gigi dari usaha untuk tetap diam, wujudku yang membungkuk memancarkan permusuhan yang seperti membakar asam, mengiris dengan kuat. Wajahku menjadi merah dengan amarah yang tertekan.
Apa maksudnya ini? Aku sudah berjuang mati-matian untuk menemukan tempat ini. Aku tidak berlebihan, aku memang nyaris mati saat menemukan pondok terpencil ini.
Dan sekarang manusia-manusia tolol dan manja ini ingin tinggal di sini bersamaku?
Enak saja!
“Kalian sudah sinting rupanya,” dengusku kesal.
Professor Dudung menepuk pelan pundakku. “Hati-hati. Dalam keadaan seperti ini, kau bisa mati kapan saja, kau tahu. Ada baiknya kau bersikap baik pada mereka, siapa tahu kau membutuhkan bantuan mereka.”
Aku? Butuh bantuan mereka? Yang benar saja! Yang ada aku harus mengasuh mereka.
Tapi, harus kuakui bahwa beliau ada benarnya juga. Aku tidak punya waktu untuk bertengkar dengan mereka. Ada hal lain yang harus kupikirkan.
Adel berlari terbirit-birit ke arahku, entah ingin menyapaku atau takut dengan kehadiran manusia lain.
Kuelus bulunya yang lembut, berusaha menenangkannya.