Kabut pagi hari mulai terlihat cerah, embun sarat rumput dan sarang laba-laba, matahari terbit melemparkan warna oranye dan merah muda ke lapisan tipis awan. Terdengar suara burung bernyanyi, paduan suara fajar, matahari bersinar cemerlang dan air di danau berkilauan dengan indah.
Aku bangun pagi-pagi sekali, menyantap buah pisang sebagai sarapan lalu beranjak pergi menuju persimpangan yang disebut professor. Langkahku sangat ringan sehingga tidak membangunkan yang lain terutama Adel.
Pagi hari terasa begitu magis. Pohon-pohon menjadi siluet terhadap langit merah dan tercium bau laut di udara.
Matahari pagi sudah terbit sepenuhnya dan rumput bersinar seperti memiliki cahaya lembut dari dalam.
Aku tiba di persimpangan yang disebutkan professor dalam hitungan jam. Harus kuakui, sepertinya tubuhku menjadi lebih kurus dari hari pertama aku tiba di pulau ini.
Ditambah dengan seringnya aku berjalan kaki, mungkin aku akan memiliki tubuh langsing ala model Victoria’s Secret.
Tawaku meledak saat membayangkannya. Sepertinya aku sudah mulai sinting.
Persimpangan ini masih menyeramkan seperti kemarin, namun kali ini sedikit berbeda.
Ada satu jalur jauh di hadapanku yang dijaga oleh seekor Kucing Merah.
Ya, aku tidak salah lihat.
Kucing Merah itu bagaikan cokelat menyebar di atas selai jeruk, seolah-olah Allah telah menginfus boneka beruang dengan kucing imut dan membuatnya sama indahnya dengan singa.
Ah, bicara apa aku.
Memiliki ukuran bagaikan kucing rumah besar, kucing itu memiliki bulu merah seragam, gelap, berangan yang sedikit berbintik-bintik hitam, dan bintik-bintik pada bagian bawah berwarna coklat keemasan.
Fase warna kedua yang gelap, abu-abu kebiru-biruan, seperti halnya spesimen hitam atau melanistik.
Kepala pendek, bundar berwarna coklat keabu-abuan gelap dengan dua garis-garis gelap yang berasal dari sudut masing-masing mata, dan bagian belakang kepala memiliki tanda berwarna gelap 'M'.
Bagian belakang telinga pendek bundar berwarna abu-abu gelap. Bagian bawah dagu berwarna putih dan ada dua garis coklat samar di pipinya. Ekornya yang panjang dan lentik memiliki garis kekuningan di bagian bawahnya, menjadi putih pucat di ujungnya, yang ditandai dengan bintik hitam kecil.
Dia sedang berjemur di tengah-tengah rumput tinggi dan bebatuan.
Aku diam, karena jika aku bersuara, Kucing Merah itu bisa saja menyerangku. Aku bernapas lambat dan membiarkan waktu melambat, memotret hanya dengan mataku.