Desa ini mungkin menjadi desa terindah yang pernah kulihat. Terletak di dekat pantai. Ini adalah surga keindahan, kemurnian, dan kedamaian.
Di sini murni, alam murni berkuasa.
Ada padang rumput bergelombang hijau, pepohonan tinggi yang melambai-lambai, serta aneka tumbuhan; hutan, punjung, kebun bunga, kebun sayuran membentang bermil-mil di sekitar.
Flora dan fauna tumbuh subur; bunga berjuta-juta mekar di sepanjang tepi danau dan ketika angin sepoi-sepoi bertiup tampak seolah-olah mereka menari.
Langit berwarna biru murni di mana awan seperti sutera putih melayang-layang di sana-sini.
Terdapat beberapa pondok, tampak seperti muncul dari sebuah dunia dongeng atau buku bergambar untuk anak-anak kecil. Terdapat jalan setapak sempit dengan kerikil kecil di antara pondok-pondok itu, kolam kecil dengan bunga lily dan beberapa ekor bebek, mungkin satu atau dua katak.
Padang rumputnya hijau dan kuning, hangus oleh panasnya terik matahari. Dua pohon besar, satu dengan daun merah dan oranye melindungi desa kecil ini.
“Selamat datang di desaku!” seru Tika sambil membentangkan kedua lengannya. Dia lalu berlari dengan kencang menuju salah satu pondok.
Aku berusaha mengikutinya, namun seorang pria yang tinggi datang menghampiriku.
Wajahnya terlihat tegas, memiliki struktur yang keras dengan tulang pipi yang tinggi dan simetris. Dia memiliki mata cokelat tua dan kulit kecokelatan. Dia sangat langsing, kencang dan tidak bungkuk sama sekali. Rambutnya yang hitam dan panjang menjuntai hingga pundak, membuat wajahnya terlihat semakin tirus.
Mataku nyaris membelalak saat menyadari apa yang dikenakannya.
Sebuah kain berbentuk persegi panjang menggantung di depan kemaluannya dan tertempel pada tali yang melingkari pinggangnya.
Hanya itu.
Tidak ada lagi.
Tidak ada atasan, tidak ada alas kaki. Hanya tubuhnya yang berotot dilukis indah oleh semacam tato, mungkin.
Aku menelan ludah, berusaha menyingkirkan pikiran mesum yang sempat terlintas.
Fokus, kau tidak boleh memikirkan yang aneh-aneh.
Oh, yang benar saja! Siapa yang tidak akan terkejut melihat pria yang nyaris telanjang di hadapanmu?
Mataku terpaku pada daerah yang tertutup kain itu sebelum aku membuyarkan pikiranku yang kotor dan tersenyum pada pria tersebut.
Aku mengangkat tangan untuk melambai dan dia terlihat bingung. Wajahnya terbelah menjadi seringai yang kubayangkan sering kupakai.
Lalu dia datang dengan langkah cepat dan mengambil tanganku yang ditawarkan di kedua tangannya, gemetar dan meremas ...
“Salam, saya Ardinh, pengawal kepala suku. Terima kasih karena telah menyelamatkan sang putri. Dia memang anak yang nakal, kau tahu. Saya sangat kesulitan dalam menjaganya.”
Aku mengangkat sebelah alisku, berusaha menahan diri agar tidak melihat ke arah bawah.
“Kau sangat luar biasa, sebagai orang asing telah mengorbankan nyawanya untuk Putri Tika. Dan kau harus tahu, sudah lama sejak terakhir kali kepala suku membiarkan adanya orang asing ke desa kami.”
“Sama-sama, aku lega Tika tidak terluka,” ucapku sambil tersenyum. Mataku masih saja ingin melihat ke arah bawah.
“Mari, ikut dengan saya dan berkenalan dengan yang lain. Mereka semua ingin sekali bertemu denganmu dan memberimu hadiah sambutan.”
Ini jelas merupakan liburan terbaik yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
“Desa ini indah sekali, boleh aku tahu namanya?” tanyaku penasaran.
“Desa ini milik suku kami; Suku Ukus. Kami suku terbesar di pulau ini.”
“U-Ukus?” tanyaku, berusaha mengulanginya. “Menarik, lalu apa nama pulau ini?”
“Wakamami. Pulau Wakamami,” jawabnya mantap.
Terdengar menarik sekali. Aku belum pernah mendengar nama pulau ini seumur hidupku, padahal nilai-nilai Geografiku bagus saat masih duduk di bangku sekolah.
“Oh, ya. Bisakah kau mengajarkanku sepatah dua kata dari bahasa sukumu?” Aku ingin sekali bisa berkomunikasi dengan mereka.