“Selamat datang, orang baru! Terima kasih karena telah menyelamatkan putriku! Wah, pakaian kami sangat cocok untukmu!” sahut seorang pria yang sedang duduk di sebuah kursi di atas panggung paling megah yang pernah kulihat.
Kursi itu diukir dari kayu ek halus, jambul dengan beberapa permata dan logam dekoratif membentuk lambang elegan. Terletak di atas panggung, di tengah-tengah desa dan bermandikan cahaya matahari, membuatnya terlihat gagah.
Meskipun kursinya mengesankan, itu adalah kursi biasa dibandingkan dengan takhta yang pernah aku lihat di film.
Pria itu datang menghampiriku lalu meremas kedua tanganku dengan erat.
“Saya Mata Fekitoa, kepala suku di sini.”
Dia beberapa sentimeter lebih tinggi dariku, usianya mungkin sudah mendekati lima puluh tahun. Dia langsing, berotot, dengan wajah simetris yang hampir sempurna.
Dia memiliki warisan Afrika yang menunjukkan fitur dan tipe tubuhnya.
Semua orang menghormatinya, mereka terlihat segan padanya.
Aku melihatnya dengan cara mereka berpegang pada kata-katanya dan membalas senyumnya begitu cepat serta selalu membungkuk penuh hormat.
Jika kuperhatikan, rahang, dagunya, dan tulang pipinya tajam. Di kedua sisi hidung lurusnya ada dua mata cokelat menyala. Alis gelapnya terlihat anggun, semua itu dibingkai oleh ikal cokelat gelap yang tebal.
Syukurlah dia mengenakan pakaian yang jauh lebih waras daripada pengawalnya. Dia mengenakan kain berwarna hijau tua yang menutupi pinggang hingga lututnya namun tanpa atasan. Dia juga memiliki beberapa ukiran aneh di kulitnya dan juga tidak mengenakan alas kaki.
Menarik.
“Hari ini Festival Gunung Berapi, dan saya ingin mengajakmu untuk ikut sebagai tamu kehormatan saya,” ujarnya sambil tersenyum. Dia memiliki hati singa dan jiwa malaikat.
“Tentu saja!” seruku penuh semangat.
Kepala suku tertawa melihat reaksiku dan menuntunku menjauhi desa, menuju tempat festival itu sedang berlangsung.
Liburan ini benar-benar di luar dugaanku. Padahal aku sempat takut aku akan mati kelaparan dan sendirian di pulau ini namun ternyata sekarang aku diundang menjadi tamu kehormatan di sebuah festival.
Bayangkan itu, aku, seorang gadis biasa, diundang sebagai tamu kehormatan oleh kepala suku. Semoga ini bukan kode untuk mengorbankanku dalam suatu ritual.
Itu sangat tidak lucu.
Hari ini sinar matahari ada di tulangku, panasnya memancar keluar menuju hari yang cerah. Seolah-olah orang-orang bersinar, aura mereka sangat bahagia di hari-hari musim panas ini.
Angin musim panas menggerakkan dedaunan yang semakin dalam, menciptakan mozaik cahaya dan naungan yang selalu berubah, dan bersamanya musik yang lahir dari gerakan yang begitu lembut, lirik alam yang menenangkan dan menenangkan di dekatnya, adalah melodi dan paduan suara, semuanya menjadi satu.
Semua penduduk asli di sini berkulit coklat, terlihat cantik bahkan saat berkeringat; kulit mereka menjadi lebih seperti batu yang dipoles.
Sedangkan aku putih seperti ibuku sampai ke mata biruku dan rambut coklat keemasan. Berkeringat membuatku terlihat seperti aku butuh seseorang untuk menenggelamkanku di pemandian es cepat, apa saja untuk memadamkan api di pipiku.
Festival ini beda sekali dengan yang ada di tempatku tinggal.
Terdapat berbagai macam bebatuan, sebuah wajan besar di atas api yang sepertinya sedang memasak sesuatu dan beberapa wahana yang tidak begitu kupahami.
Sepertinya ini tradisi mereka.
“Orang baru, siapa namamu?” tanya kepala suku sambil menghentikan langkahnya.
“Mikha,” sahutku.
“Mikha, terimalah hadiah ini,” ujarnya sambil menyodorkan sesuatu padaku.
Kerang itu ringan di telapak tanganku yang terentang. Rasanya sangat halus di tangan.
Putih semi-transparan dan meskipun ukurannya sebesar tanganku, terlihat seperti tanduk unicorn sempurna dengan spiral berjalan dari ujung ke lubang di pangkalan.
Aku bertanya-tanya makhluk macam apa yang membuat kerang ini, tidak bisa kubayangkan.
Di dalam kerang itu berwarna-warni, bersinar dengan warna lautan. Warna biru berputar dengan hijau dan bersinar dengan cantik di bawah sinar matahari pagi. Berbentuk seperti es krim yang dikocok menumpuk di atas kerucut tak terlihat, berbintik-bintik seperti kue oreo di vanilla, bergerigi, bergelombang, kurva menukik, di dalam mutiara….ah bicara apa aku, sepertinya aku mulai lapar.
“Ini yang kami gunakan untuk berkomunikasi jarak jauh, kau adalah orang asing pertama yang memilikinya,” jelasnya sambil tersenyum.
Kerang ini kuanggap sebagai harta karun kecilku.
“Wah, terima kasih. Aku merasa sangat terhormat bisa mendapatkan ini.”
Kepala suku tertawa lalu menepuk-nepuk pundakku. “Kau sudah saya anggap sebagai keluarga.”
Kerang itu cukup kecil sehingga kumasukkan saja ke dalam saku celanaku, agar tidak hilang.
Kepala suku mengajakku menuju kerumunan orang yang sedang sibuk memasak untuk festival. Di antara begitu banyak orang, ada satu yang menarik perhatianku, membuatku berjalan tanpa sadar ke arahnya.
Dia memiliki rambut yang acak-acak dan berwarna hitam, tebal dan berkilau.
Matanya cokelat gelap yang memukau, bintik-bintik cahaya keperakan ditampilkan di pupilnya. Wajahnya kuat dan tegas, wajahnya seperti dibentuk dari granit.
Dia memiliki alis mata gelap, yang miring ke bawah dalam ekspresi serius.