“Wah, ternyata kalian di sini!” seru kepala suku, yang tiba-tiba muncul entah dari mana.
Otakku tergagap sesaat dan mataku menerima lebih banyak cahaya dari yang kuharapkan, setiap bagian diriku berhenti sementara pikiranku menyusul.
Aku tersentak kaget dan melompat menjauh dari Akolo, nyaris terjatuh ke sungai.
Sejak kapan dia ada di sini? Apa dia melihat kami? Wah, memalukan sekali!
Apa dia tidak paham akan yang namanya privasi? Aku ini sudah lajang untuk waktu yang lama, tolonglah biarkan diriku menikmati momen indah ini.
Kepala suku tertawa melihatku yang salah tingkah lalu duduk bersama kami. Aku mengerucutkan bibirku, sepertinya aku tidak akan bisa menikmati bibir Akolo lagi.
“Rakyat saya menyukaimu. Akolo juga, bukan begitu?” tanyanya sambil menggoda lalu tertawa melihat Akolo yang tersipu malu. “Saya akan senang sekali jika kau mau tinggal di sini bersama kami.”
“Terima kasih, akan saya pertimbangkan,” ujarku sambil mengatur napas, jantungku masih berdegup kencang.
Mereka ingin aku tinggal di sini bersama mereka….itu merupakan keputusan yang besar. Aku takut jika aku memutuskan untuk tinggal, maka aku tidak akan pernah bisa pulang….sebaiknya aku mencari tempat yang tenang untuk memikirkan ini matang-matang. Jangan sampai aku membuat kesalahan….
Kuputuskan untuk kembali ke pondok dan beristirahat sejenak. Ardinh mengantarku hingga persimpangan lalu aku melanjutkan perjalanan pulang sendirian.
Sesampainya aku di pondok, aku nyaris pingsan.
Pemandangan ini sungguh sulit dipercaya, sungguh mengejutkan. Pikiranku terguncang, tidak mampu memahami atau memproses gambar yang dikirim oleh mataku.
Aku memalingkan muka, lalu melihat ke depan lagi untuk melihat apakah masih ada di sana. Ternyata ini semua nyata.
Semuanya terlihat berantakan, begitu banyak sampah yang tertumpuk. Sama sekali berbeda dengan tadi pagi.
Apa yang telah terjadi di sini?! Aku pergi sebentar dan sekarang sudah menjadi ladang sampah?
Mataku memindai sekitar lalu menemukan sosok yang kucari; Dimas.
Dia melambaikan tangan padaku lalu terkekeh-kekeh seperti orang sinting.
Aku sudah muak dengan manusia tolol itu, saatnya aku mengeluarkan seluruh unek-unekku, tidak peduli apa yang terjadi. Ini sudah keterlaluan.
Aku sudah bersikap baik pada mereka, mempersilahkan mereka tinggal di sini bahkan sempat memasak untuk mereka, lalu apa yang kudapat?!
Tumpukan sampah?!
Sambil berderap, aku mengepalkan kedua tanganku sambil menatapnya dengan mata berapi-api.
Dimas tertawa terbahak-bahak. “Apa itu yang kau pakai?!”
Aku mengabaikan pertanyaannya. “Apa yang kalian lakukan pada pondokku?!” bentakku, tak kuasa menahan amarah.
“Hm, memangnya kenapa?” tanyanya polos, seolah-olah tumpukan sampah di hadapannya itu bukanlah suatu masalah.