Sesampainya aku di desa, semua orang sudah menungguku. Setiap pasang mata melihatku dengan kebahagiaan yang melimpah.
Sorakan meletus seperti gunung berapi. Semuanya tenang satu detik dan kemudian memekakkan telinga berikutnya, naik ke puncaknya dan kemudian terdiam. Sorak-sorai seperti kembang api yang salah, lambat untuk memulai dan naik ke ledakan lemah sebelum mereda sepenuhnya. Diam. Gugup. Sorakan mereka mengangkat semangatku kembali.
Si kecil Tika melambaikan tangannya padaku dengan penuh semangat di samping kepala suku yang tertawa.
Sesuatu yang tidak asing menarik perhatianku di tepi pantai; perahuku!
Akolo berdiri tepat di hadapannya sambil melambaikan tangannya padaku dengan senyuman manis terukir di wajahnya.
Istri kepala suku menghampiriku lalu mendekapku dalam pelukannya.
“Mikha! Saya senang kau mau tinggal bersama kami! Semoga kau menyukai rumah barumu. Oh, dan suami saya mengirim Akolo untuk mencari perahumu. Dia telah memindahkannya ke sini untukmu.”
Pipi Akolo kembali memerah dan dia tersenyum malu-malu kepadaku.
Istri kepala suku melepas pelukannya dan berbisik, “Saya sudah memasang layarnya untukmu.”
“Ah, terima kasih!” seruku penuh semangat. Aku semakin dekat menuju rumah. Sebentar lagi…
Kepala suku menepuk pundakku. “Ah, akhirnya kau memutuskan untuk tinggal di sini ya? Silahkan istirahatlah terlebih dulu.”
Aku menganggukkan kepalaku lalu mereka semua berpamitan, membiarkanku sendirian bersama Adel.
Aku menyaksikan matahari yang mulai menghilang secara perlahan dari tepi pantai, lalu menghembuskan napas panjang. Aku terutama menyukai melihat pohon-pohon kelapa dan bayangannya di air laut. Pepohonan di sini sangatlah indah, setiap warna di antaranya, warna-warna mempesona mereka bersinar dengan matahari.
Angin sepoi-sepoi berdesir seolah-olah berbisik di telingaku. Udara terasa hangat, sinar matahari yang nyaris terbenam menyinari kulitku.
Indahnya pemandangan ini, membuatku teringat pada ibuku ketika beliau dulu sering sekali melukis pemandangan pantai untukku, rasa rindu itu kembali menghantamku.
Ibuku adalah seorang wanita yang luar biasa. Sebagai lulusan S3 Teknik Informatika di ITB, beliau adalah dosen yang luar biasa cerdas, dan aku sangat bangga memilikinya sebagai ibuku.
Meskipun ayahku telah meninggal, ibuku mampu membesarkanku dengan baik, dan oh betapa senangnya aku menghabiskan waktu bersama ibuku.
Beliau mengajariku berbagai macam hal, mulai dari melukis, memasak hingga cara memperbaiki hal-hal sederhana yang ada di rumah.
Aku masih ingat saat beliau menyuruhku untuk membaca dua buku setiap minggunya dan membuat laporan di minggu berikutnya. Awalnya terdengar bagaikan siksaan, namun lambat laun aku sangat menikmatinya. Tanpa kusadari, ternyata membaca menjadi sangat berguna bagiku dan telah menjadi bagian dalam hidupku.
Aku juga ingat, dulu, saat sore menjelang malam hari adalah waktu kesukaanku sebab ibu selalu menyiapkan hidangan istimewa untuk makan malam. Selain itu, setelah makan, beliau selalu mengajakku untuk menyanyi bersama di ruang tamu dan sesekali kami pun menari bersama.
Sebelum tidur, aku selalu meneguk segelas susu dan mendengarkan kisah petualangan hidup tokoh-tokoh bersejarah.
Ah, betapa bahagianya masa kecilku dulu.
Kenangan ini membuatku merasa sedih, bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia mengkhawatirkanku? Siapa yang akan memasak untuknya sekarang? Dia pasti sangat kesepian di rumah.