Terdampar

Bla
Chapter #19

Pondok Angker

“Terlambat?” tanyaku bingung.

“Diam! Ikut aku.” Orang itu menuntunku memasuki pondok.

Harus kuakui, pondok itu kelihatannya dibangun seperti menara batu bata balita, bagian-bagiannya menjorok ke kiri dan ke kanan, kelihatannya angin kencang cukup untuk meledakkannya. Kamar-kamar mengubah posisi mereka setiap beberapa menit, seolah-olah mereka bosan berada di posisi yang sama.

Tangga di dalam menjuntai dari lubang di langit-langit sebagai satu-satunya cara untuk sampai ke kamar yang lebih tinggi. Jam berdetak, seekor kucing menatapku lekat-lekat, jendela terus muncul entah dari mana, berubah bentuk beberapa kali dan menghilang dengan suara tiba-tiba. Pondok itu dengan tenang menyanyikan lagu-lagu konyol untuk dirinya sendiri.

Penyihir ini jelas sangat obsesif dan rapi. Baris demi baris toples berisi ramuan tak berdebu berlabel, setiap label menghadap ke depan, terletak di sebuah lemari di belakangku. Jika dilihat lebih dekat mereka dikategorikan menurut konten dan kemudian menurut abjad dalam kategori mereka.

Sapu, kain, dan lap bulu berpatroli di ruangan seolah-olah didorong oleh lengan yang tak terlihat, menyapu, membersihkan debu, menyeka. Papan memotong kayu oak yang tebal bersandar pada dinding bercat putih, serangkaian pisau mengkilap dari pisau bedah ke pisau memotong besar berbaris di samping wastafel porselen dalam urutan ukuran, masing-masing terlihat tajam.

Aku menelan ludah lalu menatap si penyihir yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapanku.

Kulitnya seperti lava cair, keriput, dan kering seperti tulang. Gigi, baik yang tersisa dari mereka, busuk sampai ke inti berwarna kuning dan berbintik-bintik. Mata berlian hitam, seperti gerbang neraka, dan seperti ular melotot ke arahku dan hidungnya yang cacat, menonjol keluar membuat wajahnya terlihat semakin menyeramkan.

Rambut berapi-api dituangkan di atas bahu penyihir seperti filamen merah panas. Kengerian wajahnya bersembunyi di kegelapan topinya.

Kulitnya kasar seperti kulit katak yang dipanggang. Senyum bermusuhan memainkan bibirnya. Pakaiannya terbuat dari kulit binatang mentah. Dari pinggangnya tergantung seikat kecil ramuan eksotis, entah apa itu aku tidak mau tahu.

“Aku tahu siapa kau. Kenapa kau kemari?” Suaranya membuat bulu kudukku merinding.

“Um, kepala suku menyuruhku meminta izin padamu agar aku bisa memasuki desa terkutuk.”

“Tidak ada yang boleh masuk ke sana! Aku memiliki seekor Kucing Merah yang menjaga tempat itu. Tapi…kau bukan penduduk asli, ya?” Matanya menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Apa…kutukan itu akan menyerangku juga?” tanyaku gugup.

“Selama patung suci kami belum ditemukan, maka tidak ada yang akan selamat!” pekiknya.

Patung suci? Apa yang dia maksud adalah bebeb?

Aku menelan ludah. “Jika aku bisa menemukan beb- ah maksudku patung suci ini, apa kau akan membiarkanku memasuki desa kutukan itu?”

Penyihir itu menganggukkan kepalanya. “Tentu, tapi mana mungkin kau tahu di mana letak patung itu?”

Aku mengangkat bahu. “Entahlah. Aku hanya orang biasa yang pantang menyerah, kau tahu?”

Penyihir itu terkikik mendengar ucapanku. “Dasar bodoh. Sana cari patung itu, dan jangan kembali hingga kau menemukannya!”

Aku masih ingat tempat aku meninggalkan bebeb, semoga dia masih ada di sana.

Sang penyihir memberikanku sebuah obor lalu aku segera melesat pergi.

Cabang-cabang pohon melonjak ke langit - tidak ada tanda-tanda kehidupan dapat ditemukan di mana pun. Itu sangat gelap sehingga aku hampir tidak bisa melihat ke mana aku pergi.

Hanya ada suara-suara kecil dari semak-semak yang berdesir dan raungan angin. Selain napasku yang berisik, tidak ada yang bisa didengar dan hutan terlalu gelap untuk bisa dilihat.

Lihat selengkapnya