Cekikikan keluar darinya seperti ombak di pantai panjang yang dangkal. Tampaknya menghilang untuk sementara waktu hanya untuk membangun dan pecah ke permukaan sekali lagi.
Tawa terkikik di dalam dirinya seperti air di balik bendungan, membuat bahunya bergetar. Ketika itu meletus dari mulutnya, itu terdengar seperti keledai meringkik ketika dia berjuang untuk bernapas dan menahan air mata.
Tawanya yang menyenangkan memotong ketegangan yang memenuhi ruangan ini.
Hantu itu…tertawa?
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, berusaha menyakinkan diriku bahwa ini nyata.
“Oh, ternyata kau, orang terpilih! Kau kenapa terlihat ketakutan seperti itu? Memangnya aku terlihat menyeramkan, ya?”
“HAHAHA!” Kali ini aku yang meledak tertawa keras-keras. Itu adalah tawa yang bisa kurasakan di paru-paruku, begitu keras hingga membuat napasku terengah-engah. Kekurangan oksigen tidak masalah. Semua penderitaan beberapa hari terakhir meleleh seperti bola salju dalam microwave. Tawa ini menciptakan liburan kecil, kelegaan yang diberkati dari semua kesusahan yang masuk ke otakku.
Aku tidak tahu mengapa aku mendapati diriku tertawa sangat keras, tetapi tiba-tiba, aku tidak bisa berhenti. Napasku terengah-engah di antara tawa terkikikku yang tak bisa dihentikan. Air mata berkumpul di sudut mataku, mengancam akan tumpah.
Hantu ini ternyata lebih tolol dari yang kukira. Padahal aku sempat membayangkan akan dicabik-cabik olehnya layaknya film horror yang sering kutonton. Tapi di sinilah aku, bertemu dengan hantu terkonyol yang pernah ada. Jelas dia terlihat menyeramkan, setidaknya lima detik yang lalu di mana aku nyaris pingsan.
Lalu, orang terpilih? Apa maksudnya? Konyol sekali, haha.
Hantu itu ikut tertawa bersamaku, kami tertawa terbahak-bahak dan kami berguling-guling di lantai, tertawa tak terkendali. Air mata mengalir di wajahku dan kami tertawa sampai perutku terasa sakit.
Saat aku berhasil menguasai diriku, aku segera bangkit dan menatap lekat-lekat sepasang mata bersinar yang berubah dari merah ke kuning dengan frekuensi detak jantung.
Aku menghela napas seperti angin musim semi yang lembut, merasa lega bahwa tidak ada bahaya yang mengancam.
“Um, hai.” Aku melambai ke arahnya, merasa sangat konyol.
Dia tersenyum bahagia. “Hai! Kau bukan penduduk asli sini, ya?”
Ini sinting, aku benar-benar berbicara dengan hantu. “Um, ya. Dan aku ke sini karena ingin mengambil timpani milik kepala suku.”
“Ah, timpani itu. Ya, ya, aku tahu di mana letaknya.” Dia berpaling dariku, melayang-layang di sekitar pondok, berusaha mencari timpani tersebut.
Aku berdiri di tempatku dengan gelisah, merasa gatal ingin melontarkan berbagai macam pertanyaan padanya.
“Um, jadi apa yang telah terjadi di sini?” tanyaku hati-hati.
Hantu itu tidak menoleh ke arahku sedetik pun, terlihat santai melayang-layang di udara sambil memindai sekitar.
“Oh, nak. Dulu, desa ini merupakan desa yang hidup. Tapi, sejak kutukan itu….tidak ada lagi kehidupan di sini.”