Terdampar

Bla
Chapter #24

Dewa Gunung Berapi

Semalam aku sama sekali tidak bisa tidur, pikiranku terus berkelana pada Akolo.

Selesai menyantap buah pisang, aku pergi ke danau di dekat desa.

Satu-satunya suara adalah bisikan lembut pohon-pohon dan kakiku yang menciprat air saat aku berdiri di tepi danau.

Danau itu berhiaskan perak di cahaya terang matahari pagi, bukan berbentuk bulat telur yang sempurna seperti gelas tua, tetapi tidak beraturan seperti percikan tinta pada beton tua.

Air yang bergelombang mengalir tepat ke celah-celah, mencuci tanah dari bebatuan.

Di sekeliling tepinya ada pohon pinus, melambai-lambai ke arahku.

Di permukaan danau, terdistorsi oleh air yang mengacak-acak, adalah bayangan wajahku sendiri.

Wajah yang memiliki warna rambut coklat keemasan dan kulit putih pastel yang membuat bibirnya yang merah muda dan indah terlihat menonjol.

Emosinya tidak mudah disembunyikan di wajahnya yang polos. Rasa sakitnya tampak jelas pada lipatan alisnya yang indah dan bibir bawahnya yang melengkung. Tapi matanya, matanya menunjukkan jiwanya. Mereka terhanyut dalam lautan kesedihan yang tak ada harapan. Ketika aku melihat matanya yang aku tahu, semua keindahan alam semesta bahkan tidak bisa berharap untuk bersaing dengan hal sederhana ini: gairah.

Gairah mengubah matanya menjadi bola api yang paling terang, dan di dalamnya aku membaca dengan jelas bahwa dia akan berjuang sampai air mata terakhir untuk hidupnya. Dia tidak akan membiarkan dunia menghancurkannya.

Tentu dia bisa menangis, tetapi dia tidak akan pernah membiarkan mereka mengambil dirinya yang sebenarnya darinya. Dia berpegang teguh padanya dengan penuh semangat. Gairah yang membuatnya cantik.

Aku menarik kembali mata lelahku dari bayanganku di permukaan air lalu menatap danau, terlihat indah di bawah cahaya matahari. Sudah ada kehangatan di udara, hari ini akan lebih panas dari kemarin. Aku menarik napas dalam-dalam dari udara yang mempertahankan kelembaban pagi hari dan menikmatinya.

Aku memejamkan mata. Angin sepoi-sepoi yang berhembus melewati permukaan yang bergelombang meniup rambutku yang panjang dan membawa warna ke pipiku yang biasanya pucat.

Tanpa gangguan pandangan aku bisa mencium berbagai aroma. Udara yang lembab harum dengan pohon-pohon pinus yang mengelilingi danau, terasa sangat familiar.

Aku dapat mencium aroma dari gulma dan pakis. Aku mencelupkan jari-jariku ke air hanya untuk menarik kembali dengan cepat.

Air yang indah itu sedingin es, padahal suhu udara mulai panas.

Mataku teralihkan ke pandangan lain, yaitu menyaksikan ikan-ikan yang berenang di air biru yang jernih dan indah. Beberapa ikan terlihat pucat, beberapa tampak menakutkan, seperti kelabang, dan beberapa adalah ikan berwarna gelap, bentuknya terlihat cantik, dan menyenangkan untuk ditonton.

Apa yang kupikirkan? Kata-kata terakhir Akolo meresap ke otakku, perlahan, satu demi satu satu, dan aku tidak bisa bernapas. Terlepas dari semua niatku untuk menyingkirkan Akolo keluar dari hidupku sepenuhnya, aku tidak menyadari sampai detik ini seberapa dalam pisau itu menusuk dirinya.

Dia mencintaiku dengan sepenuh hati, dan aku malah menyakitinya.

Dulu, aku memang ingin pulang, aku benar-benar putus asa dan ingin segera pergi dari sini.

Namun sekarang….aku merasa seperti di rumah. Aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya…belum pernah ada orang yang begitu peduli dan sayang padaku.

Rasa kesepian yang kurasakan dulu…seolah-olah hilang setelah bertemu dengan Akolo dan penduduk desa ini.

Bagian kecil otakku yang mempertahankan kewarasan menjeritkan pertanyaan padaku.

Mengapa aku tidak bisa meninggalkannya? Lebih buruk dari itu, mengapa aku tidak dapat menemukan dalam diriku bahkan keinginan untuk ingin pergi meninggalkannya?

Pertanyaan-pertanyaan itu bodoh, karena aku tahu jawabannya: aku telah membohongi diriku sendiri.

Akolo lebih dari sekadar orang yang kutemui di pulau. Itu sebabnya jadi tidak mungkin untuk mengucapkan selamat tinggal padanya - karena aku jatuh cinta padanya, seperti yang telah kukatakan sebelum ini. Aku mencintainya, lebih dari yang seharusnya. Aku jatuh cinta padanya, tetapi itu tidak cukup untuk mengubah keadaan; itu hanya cukup untuk menyakiti kami berdua. Untuk menyakitinya lebih buruk daripada yang pernah aku bayangkan.

Aku sadar….Aku salah…aku tidak ingin pergi dari sini. Aku tidak ingin meninggalkannya.

Aku tidak bisa meninggalkannya….aku ingin terus bersamanya.

Kepalaku tersentak. Aku harus memberitahunya.

Segera saja aku beranjak menuju alun-alun desa, namun aku tidak bisa menemukan Akolo di mana pun.

Tika menghampiriku dengan riang. “Halo, Mikha. Ada apa?”

“Um, aku mencari Akolo. Kau tahu di mana dia?”

Dia menggelengkan kepalaku. “Tidak, mengapa kau mencarinya?”

Aku mendesah. Mana mungkin anak kecil memahami masalah orang dewasa. “Um, aku harus bicara dengannya. Dia sepertinya marah denganku.”

Tika terkekeh mendengarnya. “Ah, kalian ini. Jangan bermusuhan seperti itu. Mungkin dia sedang bersama ayahku. Tadi pagi mereka pergi bersama ke dalam hutan yang di dekat persimpangan."

Kutepuk kepalanya dengan pelan. “Baik, terima kasih.”

Kakiku bergerak secepat kilat menelusuri hutan, menuju tempat yang ditunjuk Tika. Semoga saja dia ada di sana. Aku harus segera meluruskan masalah ini.

Lihat selengkapnya