Penyakit itu telah menjalar ke seluruh desa, membuat semua orang menjadi lemah dan tidak berdaya. Setiap penduduk desa telah mengurung diri di pondok masing-masing, menungguku kembali dengan obat atau menerima takdir kematian mereka.
Aku harus segera menemukan obat ini sebelum penyakit ini menelan korban jiwa.
Mengapa rasanya sangat sulit berpisah dengan Akolo walau hanya sebentar?
Aku tahu, kami jatuh cinta, terlepas dari perbedaan kami, dan begitu kami melakukannya, sesuatu yang langka dan indah diciptakan. Bagiku, cinta seperti ini hanya terjadi sekali, dan itulah sebabnya setiap menit yang kami habiskan bersama telah membakar ingatanku. Aku tidak ingin mengubah itu menjadi kenangan, aku ingin tetap bersamanya.
Aku harus menemukan obat itu.
Tapi di mana?
Pikiranku masih kebingungan, dan aku berjalan tak tentu arah.
Aku menatap tanah, lalu mendongak ke atas ke arah matahari, menajamkan telingaku untuk suara apa pun.
Tidak ada ide yang muncul dalam pikiranku.
Untuk pertama kalinya sejak aku terdampar di pantai ini, wajahku benar-benar jatuh, tidak ada topeng yang tersisa, tidak ada lagi ide yang terlintas dan tidak ada semangat yang membara. Mataku terus berkeliaran, kaki bergerak lebih cepat sampai aku hampir berputar. Lalu aku berhenti – menggigit bibir, mata kembali basah.
Rasanya hampir seperti duniaku berputar, dan aku hanya ingin ini cepat berakhir.
Hutan kali ini terlihat begitu sepi, tanpa kehidupan, semua mahkluk kecil seakan-akan menghilang. Tidak ada kicauan burung dan dengung serangga yang mengitari kepalaku dengan berisik, juga tidak ada bunyi langkah kaki tikus yang berkelebat menerobos semak belukar, kali ini hutan berkesan menyeramkan, membuatku bergidik ngeri.
Aku merasa kehilangan suara kehidupan hutan, siulan riang Akolo atau apa pun yang bisa membangkitkan semangat.
Perasaan gelisah ini semakin kuat saat aku semakin dalam memasuki pepohonan. Ke mana aku harus mencari obat itu? Arah mana yang harus kutuju?
Ritme langkah kakiku mulai mengumpulkan pikiran dan kepedihanku, sementara aku terus merangsek maju. Semakin ke sini, aku semakin mengalami kesulitan bernapas, karena pikiran mengerikan akan nasib Akolo beserta penduduk desa yang lain.
Bagaimana jika aku tidak kembali tepat waktu? Apa Akolo bisa selamat?
Rasanya aku telah berjalan jauh sekali dan menuju bagian hutan yang belum pernah kukunjungi sebelumnya, dan bahkan belum menemukan satu petunjuk pun.
Kemudian, karena kehilangan orientasi, aku melangkah memasuki padang rumput.
Tempat yang asing, aku yakin. Aku belum pernah ke sini sebelumnya.
Padang rumput yang begitu luas, dikelilingi oleh pohon-pohon besar, membentuk lingkaran sempurna, ini pasti buatan manusia.
Tempat ini….sangat berbeda dari yang lain.
Di sana berdiri tiga bangunan, mencapai langit, di samping kiriku ... dibiarkan diabaikan tanpa ada orang di dekatnya. Temboknya sudah terkelupas, cat habis dan lapisan debu dilapisi di atasnya. Bangunan-bangunan ini tampak tua.
Sepertinya telah ditinggalkan tetapi diambil alih oleh merpati yang beterbangan di kamar-kamar dan bersarang di dekat jendela, laba-laba membangun jaring dan kelelawar yang berlindung di sini di malam hari.
Lalu di samping kananku terdapat semacam rumah kaca dan sebuah generator air.
Tempat ini memiliki sebuah pesawat terbang sederhana, yang utuh dan bukan merupakan puing-puing seperti yang sebelumnya kutemukan, dan sebuah landasan pacu.
Melangkah ke bangunan itu seperti melangkah ke dunia lain. Rasanya seperti menjelajah ke satu set rel kereta api tua, mengabaikan rumput mengintip di antara bilah dan potongan-potongan di mana logam berkarat dan rusak. Bangunan itu tampak bergetar karena angin dan bergoyang ketika hujan menyerangnya.
Bangunan ini kosong. Seperti halnya di luar, bagian dalamnya tampak seperti sesuatu dari film dystopian, dinding bergelombang sama berkarat dan tidak berguna seperti peralatan yang mereka tempatkan.