Angin sepoi-sepoi menggelitik kulitku saat aku berlayar kembali ke pulau. Pikiranku berkelana kepada Professor Dudung, dan itu membuatku menjadi kacau.
Apa itu berarti selama ini dia berpura-pura baik padaku?
Itukah alasannya mengapa dia tidak pernah muncul di desa? Apakah dia memiliki hubungan yang buruk dengan kepala suku?
Apa tujuannya selama ini bersikap baik padaku adalah untuk memanfaatkan diriku yang tak tahu menahu mengenai pulau ini?
Jika memang benar demikian, maka aku benar-benar murka.
Itulah titik puncak kesabaranku. Aku dibutakan oleh lima titik amarah yang terasa pahit, membuat jantungku berdegup kencang.
Kukira dia adalah orang yang baik…kukira dia adalah temanku. Kukira dia tulus untuk membantuku.
Ternyata selama ini dia memiliki rencana jahat yang tidak kuketahui.
Aku merasa kasihan kepada Sanjaya yang harus sekarat di pulau gunung berapi; sendirian dan tanpa makanan.
Sungguh jahat professor itu mensabotase kapal hanya untuk kepentingan pribadi…bayangkan begitu banyak jiwa yang dikorbankan…
Kemarahan yang membara mendesis di sekujur tubuhku seperti racun mematikan, memekik pembebasan yang diminta dalam bentuk kekerasan yang tidak diinginkan. Itu seperti gunung berapi meletus; kemarahan menyapu diriku seperti gelombang ganas.
Kemarahan dikonsumsi seperti, menelan moralitasku, membuatku sinting.
Saat aku tiba di tepi pantai, perahuku segera menepi dan aku melompat turun.
Aku berjalan menelusuri hutan, yakin akan tujuanku. Kuil itu….kuil tempat aku meletakkan bebeb….aku harus kembali ke sana….
Meskipun aku tidak begitu yakin arah yang kuambil adalah arah yang benar, tapi aku terus berjalan menelusuri semak-semak, menembus pepohonan, berharap dapat menemukan kuil itu tepat waktu.
Perutku menggeram dan melolong, dan darinya muncul rasa sakit yang tidak begitu halus. Itu datang dalam gelombang dan sepertinya perutku perlahan mencerna dirinya sendiri. Aku mencengkeramnya, menariknya ke sini dan itu dalam upaya untuk membungkamnya tetapi tidak berhasil. Teriakan itu bahkan lebih keras, membuatku beberapa tatapan penasaran. Itu adalah rasa sakit yang lambat, menggerogoti perutku dan membuatku merasa lelah dan kosong.
Aduh, padahal aku sedang terburu-buru. Tidak mungkin makan sekarang, aku harus menahannya.
Kuputuskan untuk menyempatkan waktu mengunjungi aliran sungai di dekat desa, untuk menghilang rasa haus di kerongkonganku, sekaligus mencuci muka.
Tanganku jatuh ke dalam air sungai, begitu dingin membuatku merasa lega setelah berjam-jam kepanasan saat perjalanan ke dan dari pulau dewa gunung berapi.
Sungai di kakiku berasa sedingin es, darahku hampir membeku di pembuluh darah.
Bahkan sebelum seluruh kakiku terendam, kulitku kasar dengan bulu kuduk yang merinding, tidak ada gunanya.
Air melonjak di sekitar kulitku, mengangkat kakiku di satu sisi, membuat pusaran kecil di sisi lain. Berat air hampir cukup untuk menjatuhkanku, cukup untuk membawaku jauh ke hilir. Yang lebih mengkhawatirkanku adalah bahwa pada suhu rendah ini otot-ototku akan menyerah begitu saja. Tapi bisa kutahan.
Cahaya bulan menyinariku, udara dingin malam hari menusuk punggungku. Lenganku menyentuh air yang mencuri panas dari setiap bagian kulitku.
Kubuka mulutku, meminum air dingin dengan lahap seolah-olah takut airnya akan hilang. Tegukanku begitu besar sehingga bunyinya lebih seperti anjing laut menelan ikan.
GULP! GULP! GULP!
“Aaaahh,” ujarku lega.
Beberapa menit yang lalu, perutku keroncongan.
Sekarang diam.
Aku melewati titik menggeram. Aku merasakan kekosongan yang tenggelam, tetapi anehnya aku tidak merasa lapar. Aku hanya merasa kosong, seperti bagian dari diriku hilang dan aku harus mendapatkannya kembali. Aku lelah dan tidak bisa fokus.
Bagaimana mungkin terakhir aku makan sarapan adalah dua belas jam yang lalu?
Kuputuskan untuk menangkap dua ekor ikan yang berenang dengan lambat di dekatku, berjalan menuju tepi sungai dan menyantapnya mentah-mentah.