Terdampar

Bla
Chapter #32

Immortal

“Apa yang terjadi?” tanyaku bingung.

Otakku tergagap sesaat dan mataku menerima lebih banyak cahaya dari yang kuharapkan, setiap bagian diriku berhenti sementara pikiranku menyusul. Seolah-olah ada sesuatu yang telah mengetuk setiap gumpalan udara dari paru-paruku, dan aku berdiri di sini berjuang untuk menghirup, menghembuskan napas, untuk melakukan apa saja.

Professor Dudung tertawa terbahak-bahak. “Ah, rasanya menakjubkan bisa kembali muda. Bagaimana menurutmu?”

Rasanya seperti mimpi burukku berjalan maju untuk menyapaku.

Aku menggelengkan kepalaku. “Apa itu ramuan immortal yang Anda katakan sebelumnya?”

Dia tertawa lagi. “Ya! Inilah momen yang saya tunggu-tunggu! Ah, kau tidak dapat membayangkan perjuangan saya untuk sampai di sini.”

Pandangannya liar berkedip di antara peti-peti emas di sampingnya dan aku, tetapi tidak pernah bergantung pada peti-peti itu untuk lebih dari setengah detik. Dia tidak bisa menjaga matanya dari wajahku sama seperti aku tidak bisa berpaling dari mata miliknya.

Ketegangan bergulir darinya, hampir terlihat di udara. Aku bisa merasakan hasrat, semua gairah yang memeluknya. Hampir seperti aku bisa mendengar pikirannya juga, aku tahu apa yang ada di dalam pikirannya.

Dia sangat dekat dengan apa yang dia inginkan - tujuan perjuangannya selama lebih dari beberapa tahun sudah sangat dekat.

Menjadi dewa gunung berapi.

Itulah yang dia inginkan. Untuk apa lagi dia ingin menjadi immortal dan memiliki Tongkat Magna? Dia haus akan kekuasaan.

Rencananya pun semakin jelas untukku. Sangat jelas.

“Anda…ingin menjadi dewa gunung berapi, bukan?”

Dia menyeringai. “Kau pintar juga, nak. Apa kau tahu apa rencana saya?”

Aku menelan ludah, tidak ingin mendengarnya.

“Dengan tongkat ini, saya bisa menyembuhkan seluruh penduduk desa dan mereka akan menyembah saya sebagai dewa mereka. Dengan menjadi immortal, saya bisa menguasai seluruh pulau ini beserta kekayaannya!”

Apa mungkin….penyakit ini juga bagian dari rencananya?

Mataku menyipit ketika dia terus tertawa penuh kemenangan.

"Anda…yang membuat beb- ah, patung itu murka? Anda sengaja merencanakan ini?” tanyaku. Bocah itu tampak tidak terkesan.

Senyum kejam terbentuk di wajahnya yang halus dan dia mencondongkan tubuh ke depan, matanya menatap lurus ke arahku. “Tentu saja. Si anak kepala suku yang tolol tidak menyadarinya saat saya berikan patung itu padanya. Saat dia menerimanya, kuletakkan mata ketiga di kening patung itu, membuatnya menyemburkan gas berbau busuk. Kau bisa membayangkan apa yang terjadi selanjutnya.”

Tanganku bergerak-gerak dan aku bisa merasakan nadi berdenyut di dahiku. "Apa?"

"Maaf nak, ta-"

"Mereka semua sekarat karena Anda!" aku berseru, kemarahan dan kebencianku merasuki tubuhku. Suaraku merendah, hampir menjadi bisikan. "Apa nyawa mereka tidak berarti bagi Anda?"

Matanya melebar sesaat sebelum menyipit.

Dia terbahak. Dia sudah sinting rupanya. Aku harus menghentikannya, dan sepertinya dia tahu aku berniat demikian.

Sebelum melaksanakan rencananya, dia pasti sedang memikirkan rencana terbaik untuk membunuhku. Dia bisa saja menghentikan jantungku. Mungkin tangannya mendorong dadaku, menghancurkannya. Atau menggunakan tongkat itu untuk mengutukku.

Lihat selengkapnya