Tidak ada lagi sosok Professor Dudung yang aku kenal.
Di tempatnya, terdapat seorang batita.
Batita itu bergerak seperti lututnya hanya engsel, bergoyang ke sana kemari sebelum jatuh di atas pantatnya yang empuk. Kemudian dia bertepuk tangan seolah itu semua adalah bagian dari rencana dan berguling-guling untuk bangkit lagi.
Dia terlihat lucu sekali. Bajunya telah hilang, digantikan dengan setelan berwarna biru tua dan sepatu lembut yang dikenakan anak-anak. Dia terkikik dan membawa tangan lainnya ke mulutnya.
Mata hitam cerahnya menemukan mataku dan dia tertawa, karena hanya seorang batita yang bisa menertawakan suara manis yang tidak ternodai oleh derita kehidupan. Wajah kecilnya bersinar dari cahaya di dalam, membuatku nyaris meneteskan air mata.
“HAHAHA! Awww, lucunya dirimu, Prof,” godaku gemas.
Batita itu merengek-rengek penuh semangat dan menjulurkan tubuh, kedua tangannya yang kecil membuka dan menutup berulang kali.
Aku meletakkan kedua tanganku di tempat paling pas saat aku menariknya dengan lembut ke dalam gendonganku.
Dia mendongak dan tersenyum padaku lagi, memamerkan gigi-gigi kotaknya yang mungil.
“Aduh, siapa yang akan menyangka sesuatu yang menggemaskan sepertimu bisa nyaris membunuh satu desa.”
Kata-kataku membuatku tersentak. Mereka semua masih terkulai lemas, tidak berdaya di dalam pondok masing-masing, menunggu datangnya obat.
Tapi, aku tidak memiliki obatnya.
POOOF!
Asap putih memenuhi ruangan, nyaris membutakan penglihatanku.
Sekilas, aku bisa melihat seseorang muncul di hadapanku.