JOVAN

Giovanna K. A.
Chapter #5

— Ucapan

Urusan cinta yang sempat membuatku pusing kini telah berlalu, meninggalkan jejak kenangan yang campur aduk. Perasaan galau yang dulu begitu intens kini hanya tinggal serpihan memori yang sesekali muncul di sela-sela kehidupan baruku.

Rasanya baru kemarin aku merasakan jatuh bangunnya cinta monyet, dan sekarang? Aku sudah berada di ambang pintu kehidupan baru yang penuh tantangan baru—bangku SMA.

Hari-hari menjelang pengumuman SMA terasa begitu panjang. Waktu seolah bergerak dengan kecepatan siput, merangkak lambat melewati detik demi detik yang terasa begitu berat. 

Untuk mengisi kekosongan itu, aku menenggelamkan diri dalam dunia anime. Entah sudah berapa banyak serial yang kuhabiskan, dari yang ringan hingga yang berat, dari yang menghibur hingga yang membuat air mataku mengalir deras. 

Tak jarang pula aku mendapati diriku mondar-mandir ke dapur, membuka dan menutup pintu kulkas berulang kali, mencari cemilan untuk mengisi perut yang entah mengapa selalu terasa kosong. Mungkin ini caraku mengalihkan kegelisahan yang tidak kunjung reda. Tapi bukankah ini yang namanya menikmati masa transisi? Setidaknya itulah yang kucoba yakini untuk menenangkan gejolak dalam diriku.

Mentari baru saja mengintip malu-malu dari balik tirai kamarku yang setengah tertutup. Cahayanya yang lembut menerobos masuk, menciptakan pola-pola indah di lantai kamarku. Kesadaranku masih mengambang, enggan sepenuhnya terjaga dari buaian mimpi yang nyaman.

Sayup-sayup, suara langkah kaki familiar—yang pastinya berasal dari mama—terdengar mendekat. Suara itu semakin jelas, menandakan bahwa ia sudah berada di depan pintu kamarku.

"Kak, bangun. Udah siang, nih," suara lembut mama memecah keheningan kamarku, menembus kabut kantuk yang masih menyelimutiku.

Aku menggeliat malas seperti cacing yang tersiram garam, mataku masih terpejam erat seolah dengan begitu aku bisa menahan waktu agar tidak bergerak. "Iyaa... lima menit lagi, Ma," gumamku dengan suara serak khas bangun tidur, berharap mama akan memberiku sedikit kelonggaran.

Tapi mau tidak mau, dengan enggan, aku menyibakkan selimut dan bangkit dari kasurku yang nyaman. Langkahku gontai saat keluar kamar, masih setengah mengantuk. Aroma kopi yang menguar dari arah dapur sedikit membangunkan inderaku.

Di luar, aku menemukan mama sedang sibuk melipat-lipat ujung mukenanya yang baru saja dilepas. Cahaya pagi yang lembut menyinari wajahnya, membuatnya terlihat lebih muda dari usianya yang sebenarnya.

"Kenapa, Ma?" tanyaku, masih dengan suara mengantuk, sambil mengucek mata mencoba mengusir sisa-sisa kantuk yang masih menempel.

Mama menghentikan kegiatannya sejenak, dan menghampiriku. Ada sesuatu yang berbeda dari cara mama memandangku pagi ini, seolah menyimpan rahasia yang ingin segera dibagikan.

"Kak," mama memulai, "kayaknya mama hamil, deh."

Seketika, kantukku lenyap tak berbekas. Mataku yang tadinya masih setengah terpejam kini terbuka lebar, menatap mama dengan tatapan tidak percaya. Aku berdiri mematung, otakku berusaha keras mencerna informasi yang baru saja kuterima.

"Hah?" hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Aku bingung harus bereaksi bagaimana karena ini sangat… mendadak? Tak terduga? Mengejutkan?

"Mama hamil?" tanyaku lagi, seolah dengan mengulang pertanyaan itu aku bisa memastikan bahwa aku tidak salah dengar.

Mama mengangguk pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya. Tangannya bergerak, meraih sesuatu yang kemudian diletakkan di meja samping.

"Nih," ujarnya, menunjuk pada benda kecil berbentuk seperti termometer itu.

Aku melangkah mendekat, mengamati benda itu—sebuah test pack, sepertinya—dengan seksama. Dua garis merah jelas terlihat di sana, kontras dengan latar belakangnya yang putih. Meski aku tidak begitu paham artinya, tapi aku tahu ini bukan main-main.

"Jadi... aku bakal punya adek lagi, gitu?" tanyaku, masih setengah tidak percaya. Suaraku terdengar aneh di telingaku sendiri.

Mama mengangguk lagi, kali ini dengan senyum yang lebih lebar. "Selamat, ya, Kak. Adek kamu nambah lagi."

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi ini. Berbagai perasaan berkecamuk dalam dadaku—kaget, bingung, senang, dan entahlah, mungkin sedikit khawatir? Pikiranku melayang ke berbagai arah, mencoba membayangkan bagaimana kehidupan kami akan berubah dengan kehadiran anggota baru dalam keluarga.

Hubunganku dengan adik perempuanku, Jian, terlintas dalam benakku. Hubungan kami sama sekali tidak mulus. Pertengkaran kecil hingga besar sering terjadi di antara kami. Kadang karena hal-hal sepele seperti saat dia ngoceh tanpa henti yang membuatku kesal, kadang karena masalah yang lebih serius seperti ketika aku merasa Jian terlalu dimanja oleh orang tua kami.

Dan sekarang? Aku akan punya adik lagi?

Belum lagi aku memikirkan masalah finansial yang seharusnya tidak aku pikirkan. Tapi entah mengapa, pikiran itu tetap muncul. Mungkin karena aku anak pertama, dan secara tidak sadar merasa memiliki tanggung jawab lebih. Punya tiga anak berarti lebih banyak pengeluaran, sementara ayahku sedang tidak bekerja. 

Bagaimana kami akan mengatasi semua ini?

Aku teringat percakapan yang tidak sengaja kudengar antara mama dan papa beberapa minggu lalu. Mereka membicarakan tentang tagihan-tagihan yang menumpuk dan kesulitan mencari pekerjaan baru. Saat itu, aku merasa hatiku mencelos. Ingin rasanya aku bisa membantu, tapi apa yang bisa kulakukan sebagai seorang remaja yang bahkan belum masuk SMA?

Ya, Tuhan, ada saja cobaan dalam hidup ini. Setiap kali aku merasa sudah cukup dewasa untuk menghadapi tantangan, selalu ada ujian baru yang datang. Mungkin inilah yang dimaksud dengan proses pendewasaan diri.

"Wah, Ma... itu... wow…" hanya itu yang bisa kuucapkan saat itu. Lidahku seolah kelu, tak mampu merangkai kata-kata yang lebih bermakna.

Mama tertawa kecil melihat reaksiku. Tawanya terdengar renyah, seolah mampu mengusir kekhawatiran yang terpancar di wajahku. "Mama harap kamu bisa jadi kakak yang baik nanti, ya."

Aku mengangguk, masih sedikit linglung. Otakku masih berusaha keras mencerna semua informasi ini. "Eh… iya…." jawabku pelan, lebih kepada diriku sendiri daripada kepada mama.

Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa. Waktu seolah memiliki dimensi sendiri, bergerak dengan kecepatan yang sulit kupahami. Di satu sisi, hari-hari terasa begitu lambat karena aku harus menunggu pengumuman kapan masuk sekolah. Setiap detik terasa seperti jam, setiap jam seperti hari. Kegelisahan dan ketidakpastian tentang masa depanku di SMA membuat waktu seolah merangkak.

Namun di sisi lain, menyaksikan perut mama yang perlahan membesar membuatku sadar betapa cepatnya waktu berlalu. Setiap kali aku memperhatikan, sepertinya ada perubahan, seperti perut mama semakin membuncit.

Lihat selengkapnya