JOVAN

Giovanna K. A.
Chapter #14

— Terlepas

Baru kali ini, aku bisa berinteraksi dengan lawan jenis tanpa merasa canggung seperti saat masa di SMP. Bahkan sampai aku bisa merasa... aman? Padahal aku sering berpikir kalau semua laki-laki sama saja, hanya bisa mengancurkan hati orang.

Aku sudah sangat nyaman dengan keberadaan Kak Rehan yang selalu menyapa, dan kadang mentraktirku dengan suka rela, bahkan membelikanku cokelat disela-sela waktu yang membuat teman kelaku salah paham.

"Eak! Punya pacar lu, Jov?" Rahayu menepuk pundakku.

"Hah? Kaga, ah," aku menyangkalnya. Bukan karena malu tertangkap, tapi karena memang benar Kak Rehan bukan pacarku.

Aku sudah memandangnya sebagai kakakku, dan aku yakin—lebih tepatnya, berharap—kalau ia menganggapku sebagai adiknya, berhubungan adiknya juga seumuran denganku.

"Pacar lu, Han?" salah satu temannya merangkul.

"Kaga, anggep aja adek sendiri," sangkalnya.

Tentu saja, aku tidak mendengar percakapan itu.

Suatu sore, di saat murid-murid mengikuti kegiatan ekskul, ketika kami sedang duduk di taman sekolah, aku memberanikan diri untuk bertanya.

"Kak, kamu punya pacar?" karena sudah nyaman, aku sudah berani menanyakan hal yang lebih personal.

"Punya," cengirnya.

"Adek kelas gue, tapi kakak kelas lu," tambahnya.

"Kelas 11, dong?"

"Betul sekali," angguknya. "Tapi,"

Aku otomatis menengok lagi ke arahnya, menunggu apa yang akan dikatakannya, "tapi?"

"Kita udah putus," senyumnya pahit sekarang.

Waduh.

X

Di sudut koridor lantai dua SMA, seorang gadis berambut panjang berdiri dengan gelisah. Matanya yang cokelat bergerak liar, menyapu setiap sudut koridor yang mulai ramai oleh siswa yang baru keluar dari kelas mereka. Name tag bertuliskan "Sabrina" tersemat rapi di blazer abu-abunya, bergoyang pelan seiring dengan gerakan tubuhnya yang tidak bisa diam.

Sabrina menggigit bibir bawahnya, sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat dia merasa gugup. Tangannya memainkan ujung rambutnya, sementara pikirannya melayang ke sosok yang membuatnya berdebar-debar sejak minggu lalu—Kak Rehan.

"Kalo nggak salah namanya Kak Rehan, kan?" gumamnya pelan, mengingat kembali sosok kakak kelas yang bertugas di kelasnya saat masa MPLS. Bagi Sabrina, pertemuan itu bagaikan jatuh cinta pada pandangan pertama. Sejak saat itu, dia sudah mengincar sosok yang telah memikat hatinya.

Menit demi menit berlalu. Sabrina masih setia menunggu, berharap bisa melihat sosok jangkung Kak Rehan di antara kerumunan siswa yang berlalu lalang. Jantungnya berdegup kencang setiap kali ada siswa laki-laki yang melintas, namun selalu berakhir dengan kekecewaan ketika ternyata bukan sosok yang dia cari.

Tiba-tiba, di ujung koridor, muncul sosok yang ditunggu-tunggunya. Seorang pemuda jangkung dengan rambut yang sedikit berantakan melintasi koridor dengan langkah santai. Tanpa pikir panjang, Sabrina berseru, "Kak Rehan!"

Rehan menoleh, alisnya terangkat. Matanya yang tajam mencari sumber suara yang memanggilnya. "Hah? Kenapa?" tanyanya, sedikit bingung melihat seorang adik kelas yang memanggilnya dengan begitu antusias.

Sabrina menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Dia melangkah mendekati Rehan, berusaha terlihat setenang mungkin. 

"Aku... aku Sabrina dari kelas 10-2. Panggil aja Ina," ujarnya dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku mau ngajak kakak temenan. Boleh, nggak?"

Rehan terdiam sejenak, memperhatikan gadis di hadapannya. Perlahan, sebuah senyum tersungging di bibirnya, membuat Sabrina semakin gugup. "Oh, Sabrina, ya? Dari kelas… 10-2, bener?" tanyanya, mencoba mengingat-ingat.

"Iya, Kak," angguk Sabrina antusias, senang karena Rehan sepertinya mengingatnya.

"Oh, iya, iya," Rehan mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Gue inget waktu itu gua yang ngurus kelompok lu pas MPLS."

Sabrina tersenyum lega. Dia tidak menyangka Rehan akan mengingatnya di antara puluhan siswa baru yang dia urus selama MPLS. "Iya, Kak. Makanya aku berani nyapa Kakak," ujarnya malu-malu.

"Wah, asik, dong, kalo gitu," balas Rehan ramah. "Jadi, lu mau temenan sama gue, nih? Boleh banget, lah," tambahnya dengan nada bercanda.

"Makasih, Kak," ujarnya pelan, menundukkan kepala untuk menyembunyikan rona di wajahnya.

Sejak saat itu, Sabrina dan Rehan menjadi dekat. Mereka sering mengobrol di sela-sela waktu istirahat atau pulang sekolah. Awalnya, Rehan mengira Sabrina hanya salah satu dari sekian banyak adik kelas yang mencari perhatiannya. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari Sabrina.

Keramahannya yang tulus, cara bicaranya yang asyik, dan perilakunya yang natural membuat Rehan semakin tertarik. Dia mulai menantikan setiap kesempatan untuk bertemu dan mengobrol dengan Sabrina. Tanpa disadari, perasaan itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam.

Minggu-minggu berlalu, dan Rehan mulai merasakan ada yang berbeda dengan perasaannya. Jantungnya selalu berdebar lebih kencang saat melihat senyum Sabrina. Dia mulai merindukan gadis itu saat mereka tidak bersama atau memberi kabar lewat chat. 

Perlahan tapi pasti, Rehan menyadari bahwa dia telah jatuh cinta.

Seusai jam pelajaran terakhir, Rehan memutuskan untuk mengambil langkah berani. Dia sudah memikirkan hal ini sepanjang minggu, dan akhirnya memberanikan diri. Dia mampir ke taman sekolah.

Di sudut taman yang jarang dikunjungi siswa lain, Rehan menemukan sekumpulan bunga liar yang cantik. Dengan hati-hati, dia memetik beberapa tangkai, memilih yang paling segar dan indah. Dia mengeluarkan selotip dari tasnya. Dengan telaten, dia mulai mengikat bunga-bunga itu, membentuk sebuah buket sederhana kecil. 

'Ya, udahlah. Yang ada aja, yang penting ngasih sesuatu,' pikirnya.

Setelah yakin buketnya cukup rapi, Rehan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Dia berjalan menuju kelas Sabrina.

Sampai di depan kelas 10-2, Rehan mengintip ke dalam. Dia melihat Sabrina sedang membereskan tasnya, bersiap untuk pulang. Beberapa teman sekelas Sabrina masih ada di dalam, mengobrol santai. Rehan menelan ludah, menguatkan tekadnya.

"Ina," panggil Rehan lembut dari ambang pintu kelas, menyembunyikan buketnya di belakang.

"Kak Rehan?" senyum Ina yang kemudian keluar kelas. "Kenapa, Kak?"

Seketika itu juga waktu seolah berhenti. Matanya melebar melihat Rehan berdiri di sana dengan sebuket bunga di tangan. Jantungnya seolah berhenti berdetak untuk sesaat, lalu berpacu cepat seolah ingin melompat keluar dari dadanya.

Rehan melangkah masuk ke dalam kelas, berusaha mengabaikan tatapan penasaran dan bisikan pelan teman-teman sekelas Sabrina. Beberapa siswi mulai cekikikan pelan, sementara beberapa siswa bersiul menggoda. Namun bagi Rehan, saat ini yang ada di matanya hanyalah Sabrina.

Dia berhenti tepat di hadapan Sabrina, menatap dalam ke mata gadis itu. Rehan bisa melihat pantulan dirinya di mata cokelat Sabrina yang berbinar, dan hal itu memberinya keberanian untuk melanjutkan.

"Ina," Rehan memulai. "Aduh, gue lupa lagi mau ngomong apa," dia tidak bisa menahan tawanya yang dibalas beberapa teman kelas Ina dan beberapa orang yang menyaksikan dari luar.

"Confess, bang?" sahut salah satu siswa yang Rehan yakin ia tidak kenal.

"Bacot!"

Hadeuh, masih sempat-sempatnya dibalas.

Rehan kemudian menarik napas dalam-dalam, kali ini fokus kepada Sabrina, "Jadi pacar aku, mau?"

Sabrina terdiam. Sementara itu, teman-teman sekelas mereka mulai berkerumun, menonton adegan romantis yang jarang terjadi di sekolah mereka.

Dengan senyum lebar yang percaya diri, Rehan mengulurkan buket bunga liar itu kepada Sabrina. "Maaf bunganya nggak sebagus di toko. Tadi gue metiknya sendiri di taman sekolah, khusus buat lu."

Sabrina terpaku, matanya membelalak tidak percaya. Sedetik kemudian, senyum lebar menghiasi wajahnya dan dia meloncat-loncat kecil. Dengan lembut, dia menghirup aroma segar bunga liar, sebuah aroma yang akan selalu mengingatkannya pada momen ini.

"Kak Rehan..." Sabrina memulai, "Aku... aku nggak nyangka Kakak bakal nembak aku. Beneran, nih?"

"Ya, beneran, atuh, neng. Masa bercanda."

Sabrina menatap mata Rehan, senyumnya semakin lebar. "Mau, Kak! Aku juga suka sama Kakak! Aku mau jadi pacar Kakak!"

X

Rehan selalu memanjakan Sabrina dengan berbagai snack kesukaan gadis itu. Setiap pagi, tas Rehan selalu penuh dengan cokelat, permen, dan susu kotak strawberry favorit Sabrina.

Lihat selengkapnya