JOVAN

Giovanna K. A.
Chapter #13

— Sejenak

"Gimana lu di rumah?" Kak Rehan duduk di sampingku memakan martabak telur kulit lumpia. Sangat berminyak, tapi sangat enak, karena aku sendiri juga makan, dijajankan oleh Kak Rehan. Aroma rempah-rempah dan telur yang menggoda menguar di udara, membuat suasana sore itu terasa hangat dan akrab.

"Apanya?" tanyaku, sambil menggigit martabak yang masih panas. Rasa gurih dan renyah menyebar di mulutku.

"Masih dimarahin sama emak lu, nggak?" ulangnya, matanya menatapku dengan perhatian. Aku bisa melihat kekhawatiran terpancar dari sorot matanya.

"Oh, itu," gumamku, menghela napas pelan. Bayangan tentang pertengkaran terakhir dengan ibuku berkelebat di benakku. "Masih, sih… cuma aku udah ada temen cerita jadi aku nggak ngerasa sendiri banget," aku tersenyum ke arahnya, merasa bersyukur atas kehadirannya.

Kak Rehan mengangguk paham, lalu menepuk pundakku pelan. "Bagus deh. Inget, ya, kalo butuh apa-apa, gue selalu ada buat jadi tempat curhat lu, oke?"

X

Sedikit kilas balik.

Sinar matahari siang yang terik menembus dedaunan pohon rindang di halaman sekolah, menciptakan pola bayangan yang menari-nari di atas rumput hijau. Udara terasa berat dan lembab, khas cuaca tropis yang menyengat kulit. Di tengah keheningan jam pelajaran, suara langkah kaki memecah kesunyian.

"Ketemu lagi kita," suara boyish yang tenang itu mengalun. Aku mengenali suaranya bahkan sebelum menoleh—suara yang sama yang kudengar di kantin waktu hari itu. Kali ini, kehadirannya terasa lebih akrab karena sudah beberapa kali berjumpa.

Aku memutar kepalaku, rambut yang sedikit basah oleh keringat menyapu pipiku. Mataku menangkap sosok Kak Rehan yang berjalan mendekat dengan langkah santainya yang khas.

"Eh? Kak Rehan," sapaku kembali.

"Sendirian aja, nih?" Senyumnya mengembang, matanya berkilat jenaka saat ia menepuk pundakku dan mengambil posisi duduk di sampingku. Aroma parfumnya yang segar tercium samar-samar, berpadu dengan aroma rerumputan dan tanah yang lembab di sekitar kami.

"Iya, Kak. Jamkos, nih. Di kelas juga panas jadi aku keluar aja," jawabku, tanganku refleks mengipas-ngipas wajah yang mulai berkeringat dengan buku tulis. Angin sepoi-sepoi sesekali berhembus, memberikan sedikit kelegaan dari terik matahari yang menyengat.

"Enak juga jamkos," Kak Rehan bergumam, matanya menerawang ke langit biru yang cerah. Keheningan singkat yang nyaman menyelimuti kami sebelum ia melanjutkan, "Gue liat-liat kayaknya lu, tuh, suka sendiri, ya? Apa karena masih baru jadi belom terlalu nyaman sama yang lain?"

Pertanyaannya menohok tepat ke inti kegelisahanku. Aku mengangguk pelan, "Iya, Kak," aku mengakui. 

"Gimana, ya… aku, kan, dulu sekolah swasta, nih… peraturannya nggak seketat di negeri, terus pergaulannya juga beda banget."

"Oh? gimana, tuh?" Kak Rehan terlihat tertarik, ia sedikit memiringkan badannya ke arahku, memberikan perhatian penuh. Matanya yang teduh menatapku, seolah-olah ingin menyelami pikiranku lebih dalam.

"Yah… gimana, yak…" aku tergagap, bingung mencari kata-kata yang tepat. Tanganku bergerak gelisah, menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. "Beda aja, gitu. Muridnya terkesan lebih… bebas? Tapi… Aduh, gimana, ya…" Suaraku perlahan menghilang.

Kak Rehan tertawa kecil, suaranya renyah. "Iya, iya, gue ngerti, kok. Santai aja."

Merasa lega karena dia tidak memaksaku untuk menjelaskan lebih lanjut, aku mengalihkan pembicaraan. "Terus, Kak Rehan ngapain di luar? Jamkos juga?" tanyaku, mataku mengamati wajahnya.

"Gue izin ke UKS tadi. Nggak enak badan," jawabnya santai, tangannya merogoh saku untuk mengeluarkan sebotol kecil berisi pil. Gerakan tangannya yang luwes menarik perhatianku, membuatku penasaran.

"Sakit apa, Kak?" Rasa ingin tahuku terpicu, mataku terfokus pada botol kecil di tangannya.

"DID. Tau?" tanyanya balik, ekspresinya tetap tenang seolah-olah ia baru saja menyebutkan flu biasa. Tiga huruf itu mengambang di udara, membawa teka-teki yang membuatku berpikir keras.

Otakku berputar cepat, mencoba mengingat-ingat berbagai singkatan penyakit yang pernah kudengar. DID? Apa itu? DBD? Bukan, bukan, itu beda. Keningku berkerut dalam konsentrasi.

"Nggak…" aku menggelengkan kepala, rasa malu karena ketidaktahuanku bercampur dengan rasa penasaran yang semakin menjadi-jadi.

"Hm… gimana jelasinnya, ya…" Kak Rehan bergumam, masih dengan nada santainya yang khas. Jari-jarinya yang panjang mengetuk-ngetuk dagunya, seolah-olah mencoba menggali kata-kata yang tepat dari kedalaman pikirannya. "Kayak gangguan kesehatan mental, gitu. Singkatnya, kepribadian ganda."

Lihat selengkapnya