Tidak aku sangka di masa SMA-ku, aku akan menemukan seseorang yang menjadi orang yang menyadarkan aku terhadap pentingnya kesehatan mental.
Bagaimana aku bertemu dengannya? Lumayan memalukan sebenarnya.
Saat itu hari kedua MPLS. Udara pagi yang sejuk sudah berganti dengan terik matahari yang menyengat, membuatku dan teman-teman seangkatan merindukan istirahat siang. Ketika bel akhirnya berbunyi, kami semua berhamburan keluar kelas seperti air bah yang tak terbendung.
Kantin menjadi tujuan utama kami. Tempat itu langsung dipenuhi hiruk pikuk siswa yang kelaparan. Suara-suara pesanan makanan, derit kursi yang digeser, dan percakapan riuh bercampur menjadi satu, menciptakan suasana yang khas sebuah kantin sekolah.
Aku, dengan perut yang sudah keroncongan sejak jam pelajaran terakhir, memutuskan untuk membeli mi instan goreng. Aroma khas mi yang menggoda membuatku tidak sabar untuk segera menyantapnya. Namun, takdir sepertinya punya rencana lain untukku.
Suasana kantin yang penuh sesak membuat gerakanku terbatas. Aku berusaha berjalan tegak di antara kerumunan siswa dengan hati-hati, membawa piring berisi mi goreng panasku.
Tapi tiba-tiba, entah karena tidak sengaja tersenggol, kecerobohanku, atau hanya nasib sial, kejadian itu terjadi.
Semuanya berlangsung begitu cepat. Satu detik, mi gorengku masih aman di piring. Detik berikutnya, aku melihat dengan mata dan mulu terbuka ketika makanan di piring tergelincir. Mi goreng yang tadinya tertata rapi kini berceceran di lantai kantin yang sudah diinjak-olah oleh orang lain yang entah dari mana mereka telah berjalan melewati apa saja.
Dengan panik dan kesadaran penuh telah mengotori lantai, aku berlutut dan mulai memungut mi tersebut. Tanganku gemetar saat memasukkan kembali mi yang jatuh ke piring yang aku bawa. Rasa malu menyerangku dari segala arah saat menyadari banyak mata tertuju padaku.
Dalam hati, aku merutuk;
Bagus sekali, Jovan. Sekarang semua orang akan mengingatmu sebagai seorang murid baru yang menumpahkan mi goreng di lantai kantin dan memungutnya makanan kotor sendirian.
Bagaimana aku tidak akan dikenal? Bukan bermaksud terlalu percaya diri, tapi aku rasa melihat murid perempuan dengan tinggi 172 cm lebih bukanlah hal yang lumrah di lingkungan sekolah. Sebagai orang yang selalu dicap dengan tingginya, begitulah aku mudah dikenali orang-orang.
Yah, sekarang di sinilah aku, memungut makanan kotor dari lantai, merasa seperti tontonan bagi seluruh kantin.
Aku bisa merasakan tatapan-tatapan itu. Beberapa siswa berhenti makan dan berbisik-bisik sambil menunjuk ke arahku. Yang lain hanya melirik sekilas sebelum kembali pada makanan mereka, mungkin bersyukur bukan mereka yang berada di posisiku saat ini.
Rasanya ingin sekali aku menghilang saat itu juga. Atau setidaknya, memiliki kemampuan untuk memutar waktu dan mencegah insiden memalukan ini terjadi. Tapi tentu saja, itu hanya angan-angan bodoh. Kenyataannya, aku masih terduduk di lantai kantin, berusaha membersihkan kekacauan yang kubuat.
Tiba-tiba, sebuah suara yang boyish terdengar menghampiriku. "Eh, jangan dipungut gitu," ujarnya dengan nada yang terdengar peduli.
Aku mendongak, melihat seorang siswa laki-laki yang sedikit lebih tinggi dariku berdiri di sampingku. Dia mengenakan seragam kelas 12 dengan rapi. Rambutnya yang hitam pekat terlihat sedikit berantakan, mungkin karena angin atau kebiasaannya mengacak-acak rambut. Matanya menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan—mungkin, kasihan?