JOVAN

Giovanna K. A.
Chapter #7

— Manja

Satu kata yang bisa aku ucapkan tentang adikku, Jian? 

Manja.

Oke, mungkin dua kata.

Sangat manja. Atau… sangat dimanja?

Entah, keduanya sama saja dimataku.

Sama kasusnya dengan Johan, akulah yang disuruh bertanggung jawab atas semua kelakuan Jian. Kalau Jian kenapa-kenapa, siapa yang disalahkan? Tentu saja, aku, si anak pertama, yang digadang sebagai yang lebih bertanggung jawab. Seolah-olah aku punya kekuatan super untuk mengontrol tingkah laku seorang balita yang bahkan belum bisa mengucapkan kalimat lengkap dengan benar. 

Bayangkan, seorang bocah 8 tahun sudah disuruh mengurus anak berusia 3 tahun sebagai pengganti Mama. Bukankah sama-sama anak kecil yang masih bertumbuh, mereka cenderung akan bertengkar?

Tapi seperti Mama tidak melihat hal ini, melainkan selalu aku yang salah, apa pun itu. Setiap kali Jian menangis, entah karena tersandung mainannya sendiri atau karena tidak sengaja menggigit lidahnya saat makan, Mama langsung menoleh padaku dengan tatapan menuduh. "Kamu ngapain adikmu?" tanyanya tajam, seolah-olah aku punya rencana jahat untuk mencelakai adikku sendiri.

Aku masih ingat saat Jian baru belajar berjalan. Dia berpegangan pada meja ruang tamu, melangkah pelan-pelan dengan kaki kecilnya yang masih goyah. Aku duduk di sofa, menonton kartun favoritku di TV sambil sesekali melirik ke arahnya. Tiba-tiba, Jian kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk di lantai. Suara tangisannya langsung memenuhi ruangan.

Belum sempat aku bergerak untuk membantunya berdiri, Mama sudah melesat dari dapur. Matanya langsung tertuju padaku, bukan pada Jian yang masih menangis di lantai. "Kamu disitu deket banget sama dia ngapain diem aja? Kenapa nggak jagain adekmu? Masa harus sampe jatoh dulu?" serunya, nada seolah menyuarakan kekecewaannya kepadaku karena gagal atas tugasku sebagai seorang kakak.

Aku hanya bisa terdiam, bingung harus menjawab apa. Bukankah wajar kalau anak kecil jatuh saat belajar berjalan? Apakah aku harus mengikuti Jian kemana pun dia pergi, bahkan di dalam rumah?

Jian baru belajar bicara. Dia suka mengoceh dengan bahasa planetnya sendiri, yang hanya dia yang mengerti. Saat kami sedang bermain di ruang tamu, Jian tiba-tiba menangis keras. Aku panik, tidak tahu apa yang terjadi. Saat Mama datang tergopoh-gopoh, Jian menunjuk ke arahku sambil terisak.

"Dia bilang apa?" tanya Mama, matanya menyipit curiga ke arahku.

"Aku nggak tau, Ma. Dia cuma ngoceh nggak jelas," jawabku jujur.

Tapi Mama sepertinya tidak percaya. "Pasti kamu ganggu dia. Kamu, kan, kakaknya, harusnya jagain adikmu, bukan bikin dia nangis!"

Aku hanya bisa terdiam, merasa tidak adil. Bagaimana mungkin aku bisa mengerti bahasa planet Jian? Dan kenapa selalu aku yang disalahkan?

Hadeuh, apakah ini semua nasib dari anak sulung pertama? Apa lagi kalau mereka seorang perempuan?

Rasanya seperti mengemban beban dunia di pundak kecilku yang bahkan belum cukup kuat untuk mengangkat tas sekolah tanpa merengek.

Dari kecil, aku sudah dididik untuk menjadi "contoh yang baik" bagi adik-adikku. Tapi bagaimana caranya menjadi contoh yang baik ketika aku sendiri masih bertumbuh dan belajar membedakan mana yang benar dan salah?

Banyak sekali ekspektasi yang ditujukan kepadaku dari kecil, dan seperti karena hal itulah yang ikut berpengaruh dari cara aku tumbuh.

Saat pertama kali Jian lahir, Mama memanggilku ke samping tempat tidur bayi dan berkata dengan serius, "Kak, kamu udah jadi kakak sekarang. Kamu harus belajar cara jaga adekmu, ya."

Saat itu, aku hanya bisa mengangguk, tidak mengerti sepenuhnya apa artinya menjadi seorang kakak selain Mamaku rutin memanggilku "Kak" dari sebelum Jian lahir.

Lihat selengkapnya